Rabu Pon, 27 November 2024
Rumah baru kami di blok G VI No.115, dikenal misterius oleh warga. Rumah yang kami beli dari pengusaha kayu itu, dikatakan angker. Sering ada penampakan mahluk gaib di rumah ini. Selain bangunan dari kayu ulin dan dinding kayu meranti, rumah itu sunyi, dekat pula dengan pohon tua tembesu umur 700 tahunan. Rumah tetangga di kiri dan kanan tidak ditempati, dibiarkan dililit oleh betukar setinggi kerbau. Sekitar pukul 13 siang kami mulai menempati rumah itu. Malamnya, kami tidak mendengarkan suara atau melihat penampakan apapun di rumah itu. Begitu pula malam ke dua, ke tiga, ke empat, ke lima dan ke enam, tak pernah ada hal yang ganjil yang kami temui.
"Alhamdulillah, kita aman-aman saja di tempat ini!" kata Ramlan kepada kami, saat makan siang, saat di mana kami dapat bersama-sama santap siang semeja di mana hal itu jarang sekali dapat dilakukan. Mobil Daihatsu Feroza warna hijau putih meluncur meninggalkan rumah. Kupandangi mobil Ramlan hingga menghilang ke pintu gerbang kompleks. Eka dan Rully terus menatap tajam mobil ayah mereka sambil melambaikan tangan dengan wajah sedih. Tanggal 23 malam, pukul 23.00, saya dikagetkan oleh suara Rully yang berteriak dari kamarnya. Beberapa saat kemudian, suara menjerit katakutan, menghambur lari menuju kamarku. "Kenapa Nak, kenapa kalian?" tanyaku pada Eka dan Rully. Wajah mereka pucat dan keringat dingin membajir di tubuh mereka. "Ada apa, ada apa dengan kalian?" tanyaku, penasaran. Kedua anakku yang masih di bangku SD itupun, memelukku dan terisak-isak. "Eka melihat ada mahluk berjubah hitam di dekat pintu kamar Ma!" teriak Eka. Rully pun berkata hal yang sama perisis, juga melihat sosok berjubah hitam dengan kepala bertanduk di pintu kamarnya.
Dengan langkah pasti walau penuh rasa kuatir, aku masuk ke kamar anak- anak. Anehnya, mahluk itu tidak terlihat sama sekali olehku. "Mana mahluk itu!" teriakku. "Mana, tunjukkan wujudmu jika kau berani, ayo, tunjukkanlah dirimu!" desakku lagi, memberanikan diri. Memang, hingga adzan subuh berkumandang, mahluk itu tidak menampakkan diri. Tapi anak-anak tidak berani tidur di kamar mereka, mereka berkumpul di ranjangku dan kami tidak tidur hingga aku selesai sholat subuh. Pagi harinya, tubuh kedua anakku panas tinggi. Suhu badan Eka 38 derajat sedangkan Rully 39 derajat. Aku segera membawa mereka ke dokter Kamil Rujito di Jalan Angsana Raya dan dokter memberikan antibiotik serta paracetamol obat turun panas bagi kedua anakku. "Mereka mengalami depresi ringan, tidak berbahaya, mudah-mudahan siang nanti sudah turun panasnya. Bila tiga hari tidak turun, segera periksa darah, kuatir mereka terkena demam berdarah di mana saat ini lagi musim di Samarinda ini!" imbuh dokter Kamil padaku.
Ketika siang hari pukul 14.00 Ramlan datang, suhu tubuh Eka dan Rully sudah menurun. Anak-anak langsung menceritakan apa yang mereka temui tadi malam kepada ayah mereka. "Ayah percaya tentang apa yang kalian temukan, tapi seperti ayah pernah bilang, jangan pernah takut kepada hantu, kalau takut, kalian akan dikuasainya. Ok?" Tanya Ramlan, tak menuntut jawaban. Seperti yang dijanjikan, pada malam harinya, Ramlan menyiapkan makanan kesukaan jin untuk dijebak lalu ditangkap dan dipindahkan. Ada kembang tujuh rupa, kemenyan Arab, apel jin, madat Turki dan rokok gudang garam merah satu bungkus. Dengan bergaya seperti dukun, malam itu Ramlan memakai baju sorban coklat tua , blangkon Yogya dan semben batik butane Pekalongan. Pakaian itu sudah lama tersimpan di lemari dan aku tidak tahu saat apa digunakannya. Ramlan memang orang Magelang, rumah orangtuanya di kaki Gunung Tidar dan bertani tembakau di daerah itu. Kami menikah di Kota Metro, Lampung Tengah saat saya lulus dari Unila dan Ramlan bekerja di PT. Procom Limited di kota Metro.
Begitu anak-anak tertidur di kamarku, aku menemani Ramlan di halaman samping rumah dengan membakar kemenyan Arab. Baunya sangit dan sangat menusuk hidung. Kami berdua duduk bersila di alas tikar dan berkonsentrasi penuh menghadap pohon tembesu tua, sambil membaca-bacakan mantra jin yang ditulis Ramlan agar aku ikut membacakannya. Aku membaca teks, sedang Ramlan hafal mantra pemanggil jin itu dengan lancar. Mulanya tidak ada tanda-tanda akan muculnya mahluk itu di dekat kami. Hanya nyamuk malam yang mengiang dan beberapa kali kupukul di kaki dan tanganku dengan darah menghitam. Timbul pula perasaan jenuh dan keinginan untul< masuk ke dalam rumah, lalu tidur bersama anak-anak yang tengah pulas di kamarku. Tapi karena kasihan Ramlan sendirian berkomat-kamit, kupaksa juga mataku yang mengantuk untuk terus mengikuti prosesi ritualnya. Sekitar pukul 24.00, saya melihat dengan kasat mata, pohon tembesu tua berayun. Angin puting beliung mendorong dedaunan dan dahan lari ke sana kemari dengan deras.
Tidak lama kemudian, sekelebat hitam mucnul dari pohon dan turun menunduk ke depan Ramlan. "Siapa nama kamu dan kenapa tingal di sini?" tanya Ramlan, tenang, dengan suara berat dan datar. Mahluk berjubah hitam dan bertanduk itu, tidak mengeluarkan suara apa-apa, hanya menunduk dan bersujud pada Ramlan. "Jika kamu masih mau tinggal di sini, kamu jangan menampakkan diri lagi, jangan membuat takut anak-anak saya, sampai tubuh mereka panas dan sakit. Jika kamu mennggganggu lagi, kamu akan saya hukum mati, saya ikat dan dimusnahkan di Sungai Mahakam, mengerti kamu?" bentak Ramlan.
Mahkluk bertanduk itu manggut-mangut lalu menghilang dalam hitungan detik ke arah pohon yang terus bergoyang. Ramlan pun menutun prosesi ritualnya dan membimbing saya masuk ke rumah. Di kamar Ramlan bercerita, bahwa mahluk itu mengaku sudah 500 tahun tinggal di pohon itu. Dia datang dari Kerajaan Kutai Kertanegara dan bermukim di kompleks yang selama ini hutan belantara. Jin yang bernama Jagatkemuning itu, kehilangan istrinya dan dia menghabisi sisa hidupnya di pohon itu. Dia minta pohon itu tidak dumusnahkan sampai kiamat tiba. Dia berjanji tidak akan menganggu anak-anak lagi dan dia mengaku salah dan memohon ampun. Dia tidak mau menganggu siapapun lagi, tapi pohon tempat tinggalnya jangan diganggu. Malah dia berjanji akan menjaga rumah dari maling dan orang-orang jahat.
"Dia akan tetap berada di sekitar rumah kita dan tak akan menampakkan diri. Janjinya, hanya saya yang bisa melihat dia dan siap dipanggil suatu waktu bila diperlukan!" terang Ramlan. Diam-diam, Ramlan yang berkarir bagus di perusahaan besar itu, mempunyai ilmu supramistik warisan kakeknya di kaki Gunung Tidar. Sang Kakek, Mbah Prawiro, kini berumur 110 tahun, ahli menjinakkan jin dan memberdayakan jin untuk kehidupan manusia. "Kalau mau, jin sangat mungkin disuruh mencarikan kekayaan harta. Tapi kita berdosa besar bila memanfaatkan mereka untuk kekayaan pribadi. Kita tidak boleh menggunakan jin untuk pesugihan agar kaya raya!" lirih Ramlan, lalu tertidur pulas.