Rabu Pon, 27 November 2024
Areal makam Kyai Raga Runting yang diyakini sampai sekarang masih mengeluarkan aura mistis yang demikian kuat itu terletak di perbukitan yang terdapat di Dusun Karang Nongko, Desa Tanjung, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali,Jawa Tengah. Oleh sebab itu jangan heran, pada malam malam yang dianggap wingit, khususnya malam Jumat Kliwon, makam yang terkesan angker itu banyak didatangi peziarah dari berbagai penjuru untuk "ngalap berkah". Tak hanya itu, dimakam Kyai Raga Runting atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mbah Raga Runting, ada juga yang datang untuk mencari ketenangan atau kedamaian, meminta pelbaga jenis pusaka sakti tingkat tinggi, penglarisan atau lancar dalam usaha. kekayaa bahkan sampai dengan jabatan.
Sikap pantang menyerah agaknya ditunjukkan oleh beberapa peziarah. Buktinya, mereka enggan pulang ke kampung halamannya sebelum apa yang diinginkannya tercapai. "Saya sudah seminggu menginap di sini," demikian tutur seorang lelaki paruh baya, sebut saja Mujiono, 55 tahun, berasal dari Semarang, yang berharap usahanya kembali bangkit setelah ditipu oleh teman usahanya.
Kami mencoba menelisik lebih jauh lagi tentang kehidupan lelaki paruh baya tersebut. Gayung pun bersambut setelah terlebih dahulu mengingatkan agar nama dan alamat tempat tinggalnya disamarkan, maka ia pun Kembali bercerita; "Kami merintis usaha‘ dari kecil. Dari mulai mengerjakan pembangunan rumah di kampung, akhirnya, kami dipercaya untuk membangun gedung-gedung bertingkat di kota besar. Setelah menghembuskan napasnya bebaerapa kali, ia pun menambahkan; "Sejak itu kehidupan kami pun berubah." Saya dan teman yang sudah dianggap seperti saudara. Sejak remaja kami selalu bersama. Oleh sebab itu, Karena ia sudah berkeluarga dan menganggur, maka saya pun mengajaknya untuk berusaha bersama-sama," jawabnya dengan nada getir.
"Kemudian, berkat keuletan, kejujuran dan pandainya ia mengelola penghasilan, maka, dalam waktu singkat ia bisa mengajak istri dan dua anaknya tinggal disalah satu perumahan yang ada di pinggiran Semarang. "Tapi apa hendak dikata, dua tahun kemudian gemerlap dan kehidupan malamnya di Semarang membuatnya jadi lupa diri," tambahnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Ia terjebak cinta terlarang dengan wanita malam. Istri dan dua anaknya tak lagi diperhatikan. Alih-alih memberikan penghasilan, perhiasan milik istrinya pun bahkan dijual hanya untuk menyenangkan hati si wanita yang baru saja dikenalnya itu"
"Berulangkali saya menasihati tetapi, ia tak juga mengindahkan. Puncaknya adalah bulan November kemarin, ia menghilang entah kemana dengan menainggalkan tunggakkan di berbagai tempat. Bayangkan selain tidak membayar material, ia juga membawa lari pembayaran termin terakhir dari pembangunan gedung yang kami kerjakan," imbuhnya dengan nada mulai meninggi.
Lelaki paruh baya yang sedang bercerita di depan kami tampak benar-benar marah. Hal itu wajar, ia dikhianati oleh orang yang selama ini amat dipercaya, bahkan, sudah dianggap seperti saudara kandungnya. "Untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan dan menjaga nama baik, setelah kejadian yang sebenarnya saya ceritakan pada seluruh rekanan, akhirnya, tabungan dan beberapa petak lahan yang sedianya untuk tabungan di hari tua terpaksa dijual untuk menutup utang," lanjutnya lagi.
"Beruntung" tambahnya, "dan hasil penjualan dan menggadai rumah yang saya tempati, semuanya selesai dengan baik. Kini saya sengaja datang untuk menenangkan diri sekaligus mencari petunjuk, apakah meneruskan bidang yang selama ini telah digeluti, atau pindah ke lain profesi". Kami hanya mengangguk dan sesekali menarik napas panjang dan secara sepintas, kami sempat mencuri dengar kalimat yang diucapkan oleh seorang lelaki yang mengaku sudah acap berziarah ke makam Mbah Raga Runting. "Biasanya, sekembalinya dari pesarean Mbah Raga Runting, mereka selalu mendapatkan kemudahan."
Tanpa sadar, kami pun bergumam; "bukan tidak mungkin, karena banyak yang permohonannya berhasil, pesarean Mbah Raga Runting selalu ramai". Gumam tersebut ternyata ditanggapi oleh salah seorang peziarah yang mengaku dari Wonosobo. Lelaki muda yang salah seorang petani tembakau itu berkata; "Benar bahkan, sahabat saya yarg sudah frustasi, ternyata, seminggu kembalinya dari pesarean Mbah Raga Runting pangkatnya langsung dinaikkan."
"Bayangkan, sepuluh tahun pangkatnya mentok tanpa sebab yang jelas tapi, langsung naik seminggu setelah datang ke makam ini", imbuhnya sambil tersenyum. Mujiono yang sejak tadi hanya turut mendengarkan, mendadak menimpali; "dua hari yang lalu, ada orang yang mengaku dari Jakarta, setelah menggelar ubo rampe dan menyalakan dupa, tiba-tiba di pangkuannya tampak sebuah trisul kehitaman dan maenguarkan bau harum yang teramat sangat.
Sumua peziarah yang mendengar ceritahanya bisa mengeluarkan decak kagum. "Wajar, demikian kata lelaki yang tadi mengaku datang dari Wonosobo. "Mbah Raga Runting adalah merupakan sosok yang pilih tanding yang sudah barang tentu memiliki berbagai piyandel mulai dari keris, tombak dan batu-batu berkhasiat," tambahnya. "Bagi yang menginginkannya, asalkan sabar dan kuat menghadapi godaan yang menakutkan, Mbah Raga Runting biasanya pasti memberikannya," lanjutnya lagi.
"Berarti pasaeran ini dijaga oleh gaib?" kami bertanya. "Ya!, salah satunya dijaga oleh harimau jantan yang amat besar," demikian sahut salah seorang penduduk yang biasa mengantarkan peziarah ke makam tua itu". "Pernah pada suatu hari, ada sepasang remaja yang sedang dimabuk cinta, berpacaran ditempat itu. Tak sampai sepuluh menit, mendadak, yang lelaki langsung kesurupan. Suaranya menggereng dan kukunya menekuk serta mencakar-cakar seperti harimau," tambahnya lagi.
"Dan setelah diberikan pertolongan, akhirnya, anak itu kembali sadar dan pulang ke rumahnya dengan perasaan malu yang teramat sangat," pungkasnya. Menurut tutur yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, bukti kesaktian Mbah Raga Runting, tidak bisa dilepaskan dengan legenda asal muasal Gunung Tugel. Di sini, juga terdapat makam keramat Eyang Singoprono yang juga banyak diziarahi orang. Hatta, pada suatu zaman, di Dusun Manglen, Desa Walen, Kecamatan Simo, hidup Eyang Singoprono, putra dari kyai ageng wangsaprana II yang merupakan keturunan dari Brawijaya V atau raja Majapahit terakhir. Selain sakti, eyang Singoprono adalah sosok yang baik budi dan selalu menolong orang yang membutuhkannya. Kerendahan hati, kehalusan tutur kata dan kebaikannya, membuat nama Kyai Singoprono dengan cepat menyebar ke seluruh daerah.
Entah kenapa, walau bersahabat erat,namun Eyang Raga Runting selalu berdesir hatinya jika ada orang yang menceritakan kebaikan Kyai Singoprono didepannya. Padahal, aku juga sering melakukan hal yang serupa, tetapi, kenapa hanya nama Singoprono yang disebut," demikian bisik hatinya. Lama kelamaan, perasaan tidak senang pun mulai bersemi di hatig Eyang Raga Runting.
"walau apa yang kulakukan sama, tapi, mereka selalu menyebut kebaikan Singoprono. Baik, pada suatu saat nanti akan kubuktikan bahwa kesaktianku lebih tinggi dari Singoprono," gumamnya. Sejatinya, tak ada niatannya untuk membuat celaka sahabatnya, kecuali hanya ingin mnenunjukkan bahwa kesaktiannya juga tidak kalah bahkan lIebih tinggi dari Singoprono, sahabatnya. Hingga pada suatu hari, Eyang Raga Runting ingin menunjukkan kesaktiannya pada sahabatnya dengan cara mengikatkan seutas benang dari Pegunungan Rogo Runting yang ada di Desa Nglembu, Kecamatan Sambi ke arah selatan. Tepatnya di puncak gunung yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan Gunung Tugel, tempat sahabatnya bermukim.
Kemudian, di atas benang tersebut diletakkan sebutir telur dan digulirkan. Keajaiban pun terjadi. Alih-alin jatuh, telur tersebut bahkan menggelinding dengan cepat dan akhirnya membentur gunung yang ada di sebelah selatan dengan mengeluarkan suara gemuruh yang maha dahsyat. Seiring dengan hilangnya suara gemuruh dan debu tebal yang menutupinya, ternyata, puncak gunung yang terkena telur tersebut hilang atau putus yang dalam bahasanya jawanya : tugel. Sejak itu, gunung tersebut lebih dikenal dengan sebutan Gunung Tugel.