Rabu Pon, 27 November 2024
Ini adalah kisah nyata yang ingin kuceritakan pada pembaca dan semoga kita dapat mengambil hikmahnya. Pada 22 januari 2019 Angin kencang dan hujan deras menyertaiku saat turun dari taksi yang membawaku dari bandara hang nadim, batam menuju nagoya atas. Baru saja aku terbang dengan pesawat batavia air boeing 737 dari jakarta untuk menjenguk ayahku yang dikabarkan sakit keras di pangkalan bingkai, batam tengah. Adik bungsuku, indah, yang baru berumur lima tahun, berteriak memanggil namaku dan dia nampak begitu girang."Pakcik, pakcik, mbakyu ita datang dengan taksi!" pekiknya. Ita memang memanggil pakcik kepada ayahku, ayahnya juga.
Ayah dan ibuku menyongsongku dan menyambut kedatanganku dengan gembira. Aku keluar pintu taksi dan mencium tangan kedua orangtuaku.
"Katanya Ayah sakit? Maka itu aku pulang!" kataku. Ayahku terdiam lalu tersenyum kecil. Beberapa saat kemudian ayah melirik ibuku.
"Memang Ayah sempat sakit, tapi dua hari lalu sudah ke dokter dan sekarang sudah sehat!" ungkap ibuku, sambil menenteng beberapa tasku masuk rumah.
Kami langsung menuju ruang belakang, ruang di mana dulu kami selalu ngumpul bila ada hal penting menyangkut masalah keluarga untuk dibahas bersama. Setelah itu ibuku mengajak aku pergi ke pinggir laut Sarkiti, tempat di masa kecilku bermain pasir dan bermandi ombak. Laut itu hanya 300 meter di belakang rumah kami. Air laut Selat Malaka masih bergelombang deras. Persis saat aku pergi 10 tahun yang lalu. Tanah tegalan dekat pantai yang dulunya sering terendam, kini telah menjadi tanah pertanian musiman.
Bau tanah itu sangat khas, perpaduan antara teratai kering dan rumput lumut. Baunya sedikit amis tapi menyegarkan penciuman. Para petani di kampong kami mulai sibuk mencangkul dan membongkar tanah. Sementara sebagian lahan yang lain, telah tumbuh pepohonan yang mulai berbunga. Ada jagung hibrida, kacang polong, ketela pohon, singkong dan ubi hitam.
Ketika masih kecil dulu, aku sering bersama teman-teman sebaya main lari-larian di antara pepohonan musiman ini. Kami kerap main takumpat atau main perang-perangan dengan senjata dari bambu dengan peluru putik jambu. Bila terkena, tidak berbahaya walau cukup pedih di kulit. Kami mengharamkan untuk menembak bagian mata, karena bisa menjadi buta. Tapi sejauh ini tidak ada satupun korban yang terkena mata.
Arkian, kini aku melihat kembali warna bunga-bunga jagung kuning keemasan. Warna bunga kacang tanah, yang juga kuning cerah sementara bunga dari ubi hitam keungu-unguan. Ragam kembang itu menjadikan keindahan tersendiri bagiku, begitu menyegarkan mata dan menyejukkan hati. Aku menikmatinya sampai cukup lama hingga aku terbayang-bayang saat kecil berlarian di antara bunga-bunga itu. Terbayanglah di mataku Esi, Linda, Tina dan Elma teman mainku sejak kecil.
Elma sekarang bekerja sebagai TKI di Arab Saudi, Tina menikah dengan konglomerat Bengkulu Basri Muhamad. Linda menjadi janda di Negeri Belanda dan kerja di restoran Indonesia di Rotterdam. Esi sudah meninggal dunia lima tahun lalu karena kanker payudara. Tidak terasa airmataku menetes membasahi pipi. Beberapa wajah teman kecil itu tergambar jelas di pelupuk mataku dan mereka sangat membahagiakan hatiku dulu saat kami sama-sama kecil. Bahkan kami semua menangis saat akan berpisah, di mana aku melanjutkan kuliah di Yogyakarta dan beberapa gadis lain melanjutkan sekolah ke kota Palembang, Jambi, Bengkulu dan Jakarta.
Sejak kami berpisah, kami tidak bertemu lagi hingga sekarang. Jangankan dapat langsung berjumpa, surat/email/chat pun tidak kami lakukan karena kami sama-sama kehilangan jejak dan masing-masing sudah sibuk dengan dunia sendiri. Tapi ibuku selalu mengabariku di Yogya tentang keadaan teman-teman kecilku dulu. Si ini sudah menikah dengan orang dari anu, Si Anu pergi ke anu dan lain-lain. Walau aku kehilangan kontak dengan teman kecil, tapi aku dapat kabar tentang mereka semuanya dari mamaku di kampung.
Bahkan saat mama mengabarkan Esi kena kanker payudara dan meninggal di rumah sakit Charitas Palembang, aku menangis tersedu di rumah kostku di Ngampilan Yogyakarta. Ibu kost sampai panik melihat aku menangis keras seperti itu. Aku sangat sedih, aku sangat tersentuh mendengar kematian teman kecilku itu. Tapi aku tak dapat berbuat apa-apa karena aku masih kuliah, tidak punya uang untuk membantunya dan tidak punya uang untuk ongkos pulang.
Di luar kesadaranku, cukup lama juga termenung di pinggir laut Selat Malaka sebelum mandi pagi di kamar mandi umum tepi laut. Aku melihat beberapa anak kecil bermain air di dekat batang kayu, tempat mandi alami yang dari bahan pohon kayu meranti besar yang dijejer hingga berbentuk seperti rakit. Di atas batang itulah kegiatan warga dilakukan. Ada yang mencuci, ada yang mandi, ada yang sekadar ambil wudhu dan ada pula yang sekadar iseng cuci mata.. Batang itu tidak bergerak karena diikat dengan beberapa kayu sebagai paku tanah di kedalaman air laut. Karena itulah maka rakit itu tidak hanyut walau arus ombak terkadang cukup deras mengalir ke barat.
Seorang wanita setengah umur tiba-tiba mengejutkan aku dengan tepukannya. Telapak dan jari-jarinya cukup keras menghantam bahuku dan aku sangat terkejut. Lamunanku tiba-tiba buyar dan aku nyaris terjatuh ke laut.
"Hei, apa kabar dan kapan kamu datang?" tanyanya, sambil memelukku.
Samar-samar aku mengenal perempuan yang sedang berhadapan denganku itu. Tidak salah lagi, dia adalah Nani, adik kandung Esi.
"Kau tidak mau berziarah ke makam Esi di seberang pulau itu?" desaknya, sambil menunjuk ke arah pulau kecil, daerah pemakaman umum warga Kampung Jodoh, kampung suami Esi, Rusmawi yang bekerja sebagai juru las karbit.
Kukatakan pada Nani bahwa aku sangat rindu pada Esi dan aku sangat mau datang ke makamnya. Bahkan aku minta Nani menemaniku ke pemakaman seberang itu. Aku akan membawakan kembang indah dan berdoa untuk almarhumah.
"Sore nanti aku ada waktu dan aku punya waktu luang mengantarkanmu ke sana!" usul Nani. Sejak kecil Nani selalu bicara ceplas ceplos. Dia tidak pernah bisa berbasi-basi dengan siapapun yang dihadapinya, termasuk kepada guru kami waktu di SD. Maka kepadaku dia bertanya banyak hal, termasuk kasus yang sangat pribadi, yaitu tentang kesendirianku di umur 34 tahun yang masih belum menikah.
"Kenapa tidak menikah? Kamu kan cantik, dulu di desa ini dikenal sebagai primadona kampung, banyak pria yang mengincar. Apakah mungkin di Yogyakarta terlalu banyak wanita yang cantik, maka banyak saingan ya, barangkali karena hal itulah maka kamu tidak dapat cowok satupun untul< dijadikan suami!" canda Nani.
Aku hanya tersenyum mendengar berondongan geguyon yang sangat naluriah juga impulsive dari mulut Nani. Namun walau sedikit kuberikan padanya, namun kugambarkan juga yang kugambarkan juga bahwa selama di Yogyakarta aku pernah beberapa kali dekat dengan laki-laki, tapi hanya terbatas sebagai teman baik. Kini semua teman baik itu sudah menikahi gadis pujaan ?asing-masing dan aku sampai sekarang belum punya pikiran untuk menikah sama sekali. Bagi orang kota, umur 34 tahun belumlah cukup tua sebagai lajang. Apalagi karirku selaku disainer dekorasi ruang dalam masih belum mapan. Ada beberapa laki-laki yang minat menikah denganku, tapi aku menolak. Kukatakan bahwa aku belum siap untuk berumah tangga.
"Kau terlalu memikirkan kedua orangtuamu dan adik-adikmu yang masih memerlukan banyak biaya. Maka itu uangmu banyak terkuras untuk mereka. Padahal menurutku, kamu tidak perlu lagi bersusah payah menopang keluarga, karena kamu juga butuh hidup bahagia dalam suatu mahligai rumahtangga!" desisnya, tanpa beban.
Mendengar pendapat yang nyelekit itu aku hanya bisa tersenyum, walau aku tahu persis bahwa Nani tidak hendak menilai negatif. Saya yakin Nani punya maksud baik, walau cara penyampaiannya terkesan agak keras. Untung memotong pembicaraan Nani, aku pamit untuk mandi. Kuajak dia turun ke air bareng dan kami mandi bersama. Habis mandi aku kembali berkumpul dengan keluarga di rumah lalu kami makan siang bersama. Habis sholat zuhur, aku membawa adik bungsuku Indah yang berumur lima tahun pergi ke rumah Nani.
Nani pun senang pada Indah karena sering mencandai adik kecilku yang wajahnya imut itu. Kami bertiga kembali ke tepi laut untuk naik perahu jukung menyeberang ke pemakaman umum Desa Gading. Sesampainya di makam, aku meletakkan bunga di kuburan bagian kepala Esi. Airmataku berlinang saat aku mendoakan arwahnya dan terbata-bata aku seperti bicara pada Esi. Aku meminta maaf tak dapat menolongnya selama dia sakit dan minta maaf tak dapat menemaninya saat dia menyongsong maut di Rumah Sakit Charitas. Kumintakan pada Allah, agar Allah menerima Esi secara layak di sisi-Nya, juga mengampuni dosa-dosanya semasa hidup. Juga agar Allah memberikan ganjaran yang setimpal terhadap perbuatan baiknya dan pahalanya yang telah ia buat ketika hidup.
Entah kekuatan gaib apa yang datang menyirami kepalaku. Tiba-tiba pikiranku menerawang masuk ke alam kubur. Aku seperti bertemu dengan Esi yang ceria, Esi yang cantik jelita dan Esi yang ramah dan supel sekali. Syandan, aku seperti berhadapan langsung dengan Esi dengan pakaian serba putih dan rambutnya yang tergerai panjang. "Apa kabarmu Ita? Aku sangat rindu kepadamu dan aku sangat bahagia dapat betemu denganmu sore ini!" lirih Esi.
Duh Gusti, kehidupanku hari itu bagaikan tercerabut dari dunia nyata dan aku menjelajah ke alam roh, alam kubur di mana Esi dimakamkan. Ya, tiba-tiba datang kekuatan gaib yang maha dahsyat dan sebagian hidupku ada di alam kubur. Percaya tidak percaya, tapi itulah kenyataan yang kuhadapi dan hal itu tidak pernah kualami sebelum ini.
"Esi, aku juga sangat merindukanmu. Aku menangis hebat saat mendengar kabar kau meninggal dunia dari surat ibuku. Aku di Yogyakarta sampai tidak enak makan dan tidak nyenyak tidur selama berbulan-bulan. Aku sangat menyesal tidak berada di dekatmu saat kau menyongsong ajal, saat kau begitu menderita kesakitan karena kanker ganas yang telah memtuskan dua buah dadamu. Esi, maafkan aku Esi!" kataku, bagaikan benar-benar sedang berhadapan dengan Esi saat dia masih hidup.
"Ita, dunia kita sudah berbeda. Tapi bila kau rindu kepadaku, kau datanglah ke mari, taburkanlah bunga dan aku akan menjumpaimu. Aku sudah hidup tenang berada dalam alamku, di alam lain yang jauh berbeda dengan alam dan duniamu. Tapi karena kemampuanmu yang di luar sadarmu, di luar nalarmu, di luar pengetahuanmu , kau bisa menjumpai aku. Tapi hanya di sini, di sekitar makamku ini!" ungkapnya, agak terbata-bata.
Aku telah memasuki alam roh. Walau aku masih hidup di dunia dan sadar bahwa ada Indah dan Nani di dekatku, tapi aku dapat menjumpai Esi. Sementara Nani dan Indah, tidak tahu apa yang kulakukan dan apa yang terjadi pada diriku sore itu. Yang mereka tahu aku seperti orang gila yang bicara sendiri, menangis dan bergumam di makam Esi itu. Setelah Esi pamit pergi dan masuk ke alam kubur lebih dalam, aku bangkit dan mengajak Nani dan Indah pergi dari pemakaman. Karena hal itu masih mengguncang dan kurasakan sebagai suatu keajaiban yang gaib dan pribadi sekali, maka aku tidak menceritakan hal itu kepada Nani dan Indah. Juga tidak kuceritakan pada ayah dan ibuku di rumah.
Senja mulai merapat dan mentari tenggelam ke ufuk barat. Aku menyaksikan bias sinar matahari keemasan di barat rumah panggung kami yang sepi. Aku menantap langit memerah dengan perasaan sejuta gundah dan kebimbangan. Aku berfikir apakah hal itu sebagai halusinasi, benar-benar terjadi sebagai kenyataan mistik atau kenyataan alam roh atau arwah Esi mengawang belum diterima di sisi Allah? Sebab yang kuketahui selama ini, bila roh sudah masuk ke alam Barzah maka roh siapapun itu, tidak akan dapat bertemu dengan manusia yang hidup karena alamnya sudah berbeda. Tapi roh tersebut akan dapat berjumpa dengan manusia yang hidup bila dia tidak diterima Allah, lalu mengawang dan dapat maujud menakut-nakuti orang yang ia kenal semasa hidup. Artinya, roh yang bersangkutan menjadi hantu.
"Mungkinkah arwah Esi mengawang dan dia tidak diterima di alam sana?" tanyaku, bertubi-tubi pada diriku sendiri.
Rasa penasaran terus bergelayut dalam batinku. Pada malam harinya aku tak dapat tidur dan aku gelisah luar biasa di tempat pembaringan. Sementara tugas terus menuntutku dan aku harus pulang ke Jawa dalam waktu dekat. Mitra kerjaku terus menelpon agar aku cepat pulang bila ayahku sudah sehat dan sudah bisa ditinggal. Besok paginya aku mendatangi ustazah Hajjah Komari di Muara Meranjat. Guru ngajiku itu sangat faham akan masalah gaib dan dia pernah mati suri selama lima hari. Semua apa yang kualami menyangkut almarhumah Esi kuceritakan pada Hajjah Komari.
Bu Hajjah itu mengatakan bahwa arwah manusia yang sudah berada di alam barzah, memang tidak akan bisa ditemui oleh manusia yang hidup. Apalagi sampai berinteraksi dan berbicara seperti apa yang kulakukan.
"Allah perfirman dalam satu surat-Nya, bahwa masalah roh adalah urusan-Nya, manusia tidak akan tahu soal itu, kecuali hanya sedikit. Nah kata kecuali sedikit itu, memungkinkan seseorang akan bisa mempelajari suatu ilmu gaib yang memungkinkan seseorang untuk dapat berilmu juga mengatahui soal roh. Saya yakin, apa yang kau temui itu benar-benar roh dan arwah Esi. Tapi tidak semua orang mampu untuk itu. Sebab pada diri kamu, Ibu dapat melihat ada sebuah bakat yang besar, bahwa kamu punya indra ke enam yang tajam yang bisa diasah untuk berhadapan dan berinteraksi dengan roh. Kalau kamu mau, aku bisa memberikan baca-bacaan khusus peninggalan nenek moyang kita, tentang hal ilmu gaib yang bersentuhan dengan roh. Malah kamu akan bisa memegang tubuh dan menciumnya!" ungkap Hajjah Komari.
Walau urusan pekerjaan di Jawa sangat penting, karena butuh waktu mengasah diri, aku menunda keberangkatanku dengan Garuda two way traffic, open date. Aku mengundurkan waktu pulang ke Jawa dan mempelajari ilmu-ilmu yang diberikan Hajjah Komari. Dalam waktu dua hari, aku diberi ijazah oleh Hajjah Komari dan aku langsung membuktikan kmampuanku melihat sesuatu alam lain di luar alam nyata manusia. Sepulangnya dari rumah Hajjah Komari, aku langsung melihat sosok-sosok roh yang aneh-aneh, unik, yang seram menakutkan, yang cantik yang gagah juga ada yang kelihatan bermata bolong, bertubuh gosong dan macam-macam.
Di pesawat Garuda penebangan Batam-Jakarta pun aku melihat roh di bandara, di jalanan, di pesawat terbang dan di manapun aku dapat bertemu roh-roh. Aku juga kini dapat membedakan mana arwah manusia, mana jin, kuntilanak, wewe gombel, demit dan sebagainya. Maka itu, hingga sekarang, aku banyak dimintai bantuan orang untuk mendeteksi keberadaan roh, arwah, jin dan kuntilanak secara gratisan. Aku tidak meminta sedikitpun uang jasa atas kemampuan supranatural ini. Aku dilarang Hajjah Komari untuk mengkomersialkan ilmu pemberian Allah ini pada orang yang membutuhkan. Sebab ilmu itu diturunkan Allah untuk menolong kehidupan kemanusiaan, menolong sesama insan yang membutuhkan bantuan.
Bahkan aku dimintai polisi untuk berdialog dengan arwah korban pembunuhan gelap, yang tidak terungkap oleh eksakta kepolisian. Alhamdulillah ilmuku itu dapat berguna dan bermanfaat untuk kemaslahatan ummat. Tapi ada hal yang cukup menakutkan sejak aku mendalami ilmu gaib ini. Yaitu, aku tidak boleh menikah sampai akhir hayat. Karena bila aku sampai menikah, ilmu itu akan secara otomatis hilang. Sebab dikatakan Hajjah Komari bahwa ilmuku itu turun dari buyutku, dan buyutku dulu, melepaskan ilmu itu saat dia menikah dengan kakek ayahku.
Pikirku, aku akan berbeda dengan buyutku dulu. Bedanya bahwa, kelak aku akan tetap menikah walau ilmu itu akan lenyap dengan sendirinya. Kini, ilmu itu benar-benar kukuasi dan aku terus menerus menjelajah di alam roh, alam jin dan alam gaib yang serba gelap. Aku bisa sewaktu-waktu melakukan pertemuan dengan keluarga besar dari ibuku atau dari ayahku yang sudah lama meninggal. Pada suatu tempat yang sangat unik, wingit dan secara tajam perbedaannya dengan alam nyata di dunia.
Alam roh yang kutemukan begitu indah, sejuta kali keindahannya jika dibanding dengan alam dunia. Di sana manusia semuanya penuh damai, tidak ada sengketa, tidak ada rasa iri, tidak ada rasa dengki dan tidak saling sakit menyakiti. Setiap saat aku bisa bertemu Esi di alam yang indah itu, nampak alam pegunungan hijau yang penuh burung berkicau, segar dengan air terjun yang menyejukkan. Juga buah-buahan ranum yang manis dan lezat, dapat kami nikmati di mana-mana. Apa yang kita ingin makan, hal yang diinginkan itu tiba-tiba sudah ada di depan mata. Pikirku, itulah alam setengah surga yang indah yang disediakan Allah untuk manusia. Kuyakini, bila akhirat nanti, surga yang sesungguhnya akan makin jauh lebih indah dari setengah surga yang kulihat.