Rabu Pon, 27 November 2024
Begitu ayahku meninggal, tinggallah aku, ibu dan lima adik-adikku yang masih kecil di Pontianak. Karena memang kami hidup sangat kekurangan, maka semua orang yang mengenal kami, mengatakan bahwa kami adalah orang miskin. Kami tidak perduli dengan anggapan orang itu, karena kami pikir, memang begitulah kenyataannya. Yaitu, bahwa, kami memang orang miskin. Ini adalah kisah nyata yang dialami seorang artis indonesia yang namanya disamarkan....
Ayah kandungku, saat wafat, tidak sedikitpun meninggalkan harta benda, Jangankan tanah dan mobil, sepeda pun tidak ada ditinggalkan oleh ayah untuk kami. Namun, karena ayah sudah cukup keras berjuang untuk membahagiakan kami, maka kami semua sangat ikhlas menghadapi kenyataan ini. Apalah arti harta benda,pikir kami, bila kenyataannya harta benda itu akan menjadi mudharat bagi kami. Biarlah kami miskin tapi berkah, hidup bahagia, damai dan sejahtera dalam kekurangan dan kesederhanaan kehidupan.
Saat meninggalkan kami, ayah kami, Loh Oeng Kiuw, 56 tahun, hanya meninggalkan sebuah rumah kecil yang kami tempati di Rambak Timur, Pontianak, Kalimantan Barat. Satu rumah yang terbuat dari kayu ulin dan gerawan, yang berwarna kusam akibat termakan umur. Suatu malam, ibuku mengajak aku bicara. Kata ibu, adik-adikku makin banyak membutuhkan biaya sekolah dan kebutuhan hidup kami makin bertambah. Dari hari ke hari kebutuhan itu makin meningkat dan kami makin kekurangan. Untuk itulah, kata ibu, kita harus merantau ke Jakarta, mengadu nasib di ibukota. "Di Jakarta mengadu peruntungan lebih mudah; asal ada tempat jualan, jualan apa saja ada yang beli!" desis ibuku. "Lantas aku harus bekerja apa di Jakarta, sementara di Pontianak, walau pun sedikit, aku mendapat gaji sebagai waitres bar Kamiru Lounge, di Pontianak Barat, yang setiap malam aku mendapat tips dari tamu juga mendapat gaji setiap bulan, walau cukup kecil," kataku.
Dengan suara agak mengeras ibu berkata kepadaku, bahwa hanya untuk bekerja sebagai waitres, di Jakarta aku pasti dapat tempat. "Tubuhmu langsing tinggi, wajahmu cantik dan penampilanmu sangat baik. Ibu yakin, kau akan mendapatkan dengan mudah pekerjaan begitu kita sampai di Jakarta. Tapi, maksud ibu, bukan pekerjaan itu yang kau raih, tapi di Jakarta, kau bisa menjadi peragawati, fotomodel, penyanyi atau bintang film dan sinetron," desis ibuku lagi. Aku sangat tahu adat dan tabiat ibuku. Ibuku sangat keras dan sangat kokoh bertahan dengan pendapatnya. Naluri ibu, ibu sangat yakin bahwa aku bisa menjadi apa yang diinginkannya. Jakarta itu sebagai kota yang sangat menjanjikan bagi orang seperti aku, bagi seorang yang suka berkesenian, bagi seseorang yang punya bentuk fisik lumayan, berpenampilan baik dan berkepribadian menarik. "Ibu yakin betul bahwa kau akan meraih sukses di ibukota. Keyakinan ibu ini datang saat arwah bapak menghampiri ibu kemarin malam, bapak memerintahkan kita pindah ke Jakarta untuk merobah nasib," cerita ibuku.
Agak lama aku termenung di hadapan ibu. Pikiranku jauh melayang tentang bagaimana kerasnya Jakarta, bagaimana kejamnya ibukota, bagaimana ketatnya persaingan hidup. Bahkan ada pameo, kejamnya ibu tiri tidak sekejam ibukota. Artinya, kekejaman Jakarta itu jauh lebih kejam dari kejahatan seorang ibu tiri. Namun, karena tahu sifat ibu yang keras, maka, akupun akhirnya terpaksa mengangguk. "Baiklah Bu, kita pindah ke Jakarta. Saya akan mencari pekerjaan di Jakarta dan adik-adik mesti dapat bersekolah di sana. Tapi Bu, di mana kita mesti tinggal di Jakarta, bukankah kita tidak punya family di sana?" tanyaku, penasaran. "Kita jual rumah peninggalan ayahmu ini, uangnya kita jadikan modal buat dagang dan buat ngontrak rumah di Jakarta. Di daerah Tanjung priuk, tepatnya di Warakas, ada teman ibu, teman baik saat ibu tinggal di Sambas, sekarang teman ibu itu sudah menjadi pengusaha rumah makan yang sukses di Pasar Seni Jaya Ancol," ungkap ibuku.
Setelah menjual rumah kepada saudara ayahku sebesar Rp. 35 juta, kami segera mempersiapkan diri untuk berangkat hijrah ke Jakarta. Kelima adikku yang masih duduk di bangku SMP dan SD, semua dimintakan surat pindah, walau sekolahan yang dituju belum ada kejelasan. Semua perabot rumah tangga yang ada, termasuk barang pecah belah, kami berikan kepada tetangga kami yang susah. Baju-baju yang sudah usang, juga kami berikan kepada para pemulung di dekat rumah kami. Mereka sangat senang menerima barang bekas pemberian kami itu.
Tanggal 17 Agustus 2001, pas peringatan hari kemerdekaan Indonesia, kami berangkat dengan kapal Rawit menuju Jakarta. Karena kami ngirit uang maka kami pun tidur di bawah tangga kapal. Kami tidak mampu menyewa kamar dan kami menggelar tikar lalu bertujuh tidur di emperan geladak. Karena udara dingin dan diterpa angin yang kencang, aku dan tiga adikku masuk angin, kami muntah-muntah dan menderita diare selama perjalanan laut. Karena banyak buang air, tubuhku pun akhirnya lemas dan aku dirawat oleh dokter kapal. Aku disuntik dan diberi obat antibiotik serta obat-obatan diare. Begitu pula dengan ke tiga adikku. Kami semua dirawat dan membayar seadanya kepada dokter dan dokter memahami akan kekurangan kami itu.
Pada saat tubuhku begitu lemas, saat keluar kamar mandi kapal di tengah malam, tiba-tiba jantungku berdetak hebat. Di hadapanku berdiri ayahku, ayahku yang sudah meninggal dunia beberapa waktu lalu. Ayahku lalu memeluk aku dan aku menangis di pelukan ayahku. Namun pada saat tanganku diremas, ayahku memberikan sebuah batu warna putih ke tanganku, sebuah batu bernama mustika kelapa, batu yang menyerupai daging kelapa tua dan warnanya berkilau dengan satu titik coklat sebesar jarum di dalamnya. Batu mustika kelapa itu memang sudah ada sejak aku masih kecil. Batu itu disimpan ayah di dalam lemarinya. Aku dan ibuku ingat akan batu itu, tetapi pada saat ayah meninggal, batu itu menghilang entah ke mana. "Simpanlah batu ini, Nak, jangan bilang kepada siapapun kau bertemu ayah di sini dan rahasiakanlah soal batu ini kepada ibumu. Ingat pesan ayah ini ya?" desis ayahku, getir dan lemas. Belum sempat aku menjawabnya, tiba-tiba ayahku menghilang di dalam kapal Rawit dan aku tidak pernah menemukannya lagi hingga sekarang. Namun, batu pemberiannya, hingga sekarang aku simpan dengan rapih. Bahkan pada waktu-waktu tertentu, batu itu mampu menyebar wewangian Elizabeth Arden bila datang malam tertentu, terutama di malam anggara kasih, di malam selasa pon.
Pertemuan gaibku dengan ayahku ini, hingga sekarang aku rahasiakan kepada ibu dan adik-adikku. Bahkan keberadaan batu mustika kelapa itu, ibuku pun tidak tahu hingga puluhan tahun kemudian. "Batu itu adalah batu azimat kesuksesanmu di Jakarta. Kau akan menjadi artis besar dan seniwati besar di ibukota nanti. Tapi ingat, bukan karena batu itu kau meraih kesusksesan, batu itu hanya perantara, yang memberimu sukses adalah Tuhan Yang Maha Esa, penguasa akam semesta raya. Jangan sekali-kali kau menuhankan batu itu, karena batu itu tetaplah batu. Tapi di dalam batu itu, ada Abu Amar, jin dari Timur Tengah yang menjaganya dan dia akan menjagamu serta mendorongmu meraih kesuksesan. Tapi, Abu Amar itu diperintah oleh Allah untuk memberi kekuatan bagi manusia pemegang batu itu dan kau akan meraih kesuksesan itu," ungkap ayahku, sebelum Beliau menghilang di dalam kapal KM Rawit, saat berada di tengah Laut Jawa.
Batu mustika kelapa itu aku simpan baik-baik di dalam tasku. Sesampainya di Tanjungpriuk, Jakarta Utara, kami turun lalu menuju ke alamat rumah teman ibu di Warakas, tidak begitu jauh dari pelabuhan laut. Ibu Enno Susilawati, 51, menerima kami dengan baik dalam beberapa waktu kami dipersilakan untuk tinggal di rumahnya. Setelah tiga hari di rumah Bu Enno, kami mendapatkan rumah kontrakan, sebuah rumah kecil yang memiliki dua kamar tidur di daerah Sumurbatu, Kemayoran, Jakarta Pusat. Ke lima adikku mendapatkan sekolah mereka masing-masing. Sekolahan adikku tidak begitu jauh dari rumah kontrakan kami di Sumurbatu.
Sementara itu ibuku, meminta ijin Pak RW untuk membuka usaha jual lauk pauk dan kue-kue di muara gang. Usaha ibu ini mula-mula tersendat, namun lama kelamaan laku keras dan pelanggan makanan jualan ibu begitu banyak. Sementara itu, supaya aku juga menghasilkan uang, aku menemui sebuah usaha butik milik perancang terkenal, Hans Malawa, sebutlah begitu, untuk melamar bekerja sebagai peragawati. Pengalaman memperagakaan busana ini, sudah aku miliki saat aku di SMA Xavirius di Pontianak dan saat aku kuliah di kota itu. Setelah bekerja pun, aku berulang kali memperagakan pakaian ciptaan istri walikota dan PKK setempat. Pengalaman inilah yang membuat aku berani melamar ke Hans dan dia melakukan testing kepadaku.
Selain menerima aku sebagai peraga busananya, Hans juga menerima aku sebagai pekerja tetap di butiknya, sebuah butik besar di Jalan Melawai, Blok M, Jakarta Selatan. Hampir setiap bulan, aku tampil sebagai model busana dan setiap bulan aku mendapat gaji tetap dari Hans sebagai asistennya di beberapa butik yang dimilikinya. Setelah beberapa tahun bekerja dengan Hans, aku dipanggil oleh sebuah produk untuk menjadi bintang iklan di perusahaannya. Setelah menjalani testing, aku berhasil mengalahkan 300 nominator lain untuk membintangi iklan sebuah produk kosmetik ternama itu. Kontrak iklanku langsung beratus juta dan aku bisa membelikan rumah ibuku di daerah Pondokpinang, Jakarta Selatan.
Di dalam tasku, aku menyentuh batu mustika kelapa dan batu itu kurasakan membesar dan menyebarkan wewangian yang sangat menyengat. Wangi bau Elizabeth Arden yang menyejukkan. Saat aku tersentuh batu itu, saat menjalani testing, audisi, tiba-tiba suatu suara aku dengarkan dengan jelas di kupingku. "Tenanglah dan berdzikirlah, kau akan memenangkan audisi ini dan mengalahkan ratusan yang lain," kata suara itu. Setelah iklanku beredar, aku terus-terusan mendapatkan job. Baik itu main sinetron, film dan menyanyi. Bahkan, kiprah nyanyiku bukan saja ngetop di indonesia, tapi juga beken di Malaysia, Singapura dan Brunai Darussallam. Bahkan aku juga menyanyi di Budokan Hall, Jepang, Taipei, Taiwan dan Victoria Hali di Hongkong. Alhamduiillah, setelah itu, uang terus menerus masuk ke pundi-pundiku, Bahkan terakhir, depositoku sampai 300 milyar dan aku memiliki beberapa tambang batubara di Banjarmasin, Samarinda dan Tarakan, Kalimantan Timur. Sedang di Sambas, Kalimantan Rarat aku memiliki 50 hektar kebun jeruk siam dan jeruk itu sudah dieksport ke beberapa negara luar, Malaysia, Brunai dan Singapura.
Pada bulan September 2010 lalu, di luar dugaanku, batu mustika kelapa titipan gaib ayahku, menghilang entah ke mana. Sejak bulan September itu, usahaku semuanya merosot bahkan tiga usahaku bangkrut total dan aku terlibat utang piutang begitu besar kepada bank. Selain dari usaha yang bangkrut, job manggung, main film fashionku pun, makin ke sini makin surut. Bahkan, harta benda yang ada, mobil jaguar, ferrari dan limousine ku, terpaksa aku jual semua untuk membayar hutang. Tiga rumah mewah ku pun, aku agunkan ke bank untuk membayar PHK ribuan karyawanku yang diberhentikan. Kini aku terus mencari batu mustika kelapa ku yang hilang. Sudah puluhan paranormal aku libatkan, tapi sejauh ini juga tidak aku temukan. Sementara itu, kehidupanku makin terdesak dan terpojok. Sementara ibuku, bolak balik masuk rumah sakit karena menderita penyakit tekanan darah tinggi, mulai dari stroke ringan hingga stroke berat.
Pekan lalu, melalui ritual jamasan dengan dukun dari kraton Solo, dari keturunan ke 17 Mangkunegara, aku menemukan kembali batu mustika kelapa itu. "Carilah di Sambas, Kalimantan Barat, di sebuah pohon kelapa gading di Desa Kambuga, adanya di dalam manggar termuda dan naiklah pohon itu, tapi kau sendiri yang harus melakukannya, tidak boleh orang lain yang mengambilnya," kata Ki Jayaprana, 51 tahun, dukun sakti mandraguna yang punya kemampuan menjinakkan jin dan mampu mendayagunakan jin untuk kegiatan manusia. "Jin di dalam batu milik Anda berdasarkan pemberian ayahnya itu, adalah Jin Abu Amar, dan Abu Amar telah menyeberang laut Jawa meninggalkanmu karena kau tidak pernah memberi makanan kepadanya," sorong Ki Jayaprana padaku, di ruang prakteknya di pinggiran Jakarta Barat. "Apa makanan jin Abu Amar itu Ki? Kenapa almarhum ayahku tidak menyebut makanannya itu kepadaku, saat Beliau memberikan batu itu kepadaku di kapal laut?" tanyaku. "Pada saat kau Berjaya, kau lupa kepada Abu Amar, jin yang menjaga batu mustika kelapa itu. Makanan jin itu adalah jajanan pasar, kembang tujuh rupa dan wiridan yang rutin. Satu lagi, karena dia datangnya dari Arab, maka makanan jin itu kemenyan Arab, kemenyan khusus yang dibuat dari manggar kurma," desis Ki Pranajaya, sambil menghisap cerutunya dalam-dalam.
Setelah ritual, besoknya aku langsung terbang ke Kalimantan Barat. Sesampainya di bandara Supadio, Pontianak, aku menyewa taksi ke Sambas dan mencari lokasi yang ditentukan oleh Ki Pranajaya. Di desa Kambuga, Sambas, aku menemukan hutan Sangkil, dan menemukan pohon kelapa gading yang berukuran tinggi 4 meter dan dengan kakiku sendiri, aku memanjat pohon itu. Memang, kesaktian Ki Pranajaya teruji betul di situ, di mana pada sebuah mangga muda, aku menemukan batu Mustika Kelapa ku yang hilang dan aku mencium serius batu itu. Alhamdulillah, kini batu itu kembali aku simpan di rumahku di Jakarta. Usahaku yang hancur, aku coba bangun lagi dan hasilnya Nampak mulai terlihat. Bahkan, di tahun 2012 awal lalu, aku dikontrak tiga produk untuk iklan dan kontrak lima judul film layar lebar, juga dikontrak oleh sebuah label untuk rekaman lima album musik pop.
Namun sayang, penyakit ibuku tidak tertolong lagi dan ibu menghembuskan nafas terakhir di rumag sakit RSPAD, Senen, Jakarta Pusat. Sementara seorang adikku, dari lima yang ada, terlibat narkotika dan meninggal over dosis. Pada pertengahan tahun 2012 ini, tinggallah aku dan empat adikku, tinggal di rumahku yang sederhana di Meruya, Jakarta Barat. Separuh dari penghasilanku, aku sumbangkan ke pesantren untuk membuat pengajian khusus, dzikir dan ngewirid berjemaah, untuk memberi makanan gaib kepada Abu Amar, jin Arab yang jadi penghuni tetap batu Mustika Kelapa ku. Walau tidak berlebihan, aku kini lebih nyaman dan tenteram dengan keberadaan batu itu. Selama ini, memang aku selalu panas, serakah dan ria dengan kekayaanku. Kini aku tidak lagi bermobil mewah dan berperhiasan mahal. Kini, aku lebih nyaman dengan kesederhanaan sambil berikhtiar kepada Allah, meminta berkah, ridho dan ijinkan kepadaku, memelihara Abu Amar peninggalan gaib ayah kandungku.