Rabu Pon, 27 November 2024
Bagi pemburu ilmu kebal bacok, anti tembak atau dug deng, mereka percaya bisa memperoleh ilmunya setelah melakukan ritual di sebuah lokasi hutan beringin di tepi aliran Bengawan Solo, tepatnya berada di area makam Benowo di Dusun Benowo, Desa Ngringo, Kecamatan Jaten, Karanganyar, Jawa Tengah. Di sini mereka sudah ditunggu siluman ular buntung yang sakti mandraguna, sebagai guru gaib penuntun mendapatkan ilmu tersebut.
Melihat keadaan makam Benowo yang berada di hutan pohon beringin itu, nampaknya memang biasa saja, seolah tidak memiliki keistimewaan apapun, kalau dibandingkan dengan makam-makam keramat lainnya. Meski begitu di Makam Benowo nampak bersih terawat, ada sisa-sisa gundukan menyan yang menggunung. Selain itu makam ini juga dikelilingi pagar tembok sebagai pembatas dan nisannya berlapiskan keramik putih. Mungkin yang membedakan makam ini dengan makam keramat lainnya, kondisi makam ini berada di tengah hutan dengan sungai kecil yang mengalir deras.
Di samping itu, lokasi area Makam Benowo hanya satu-satunya, tanpa ada makam di kanan kirinya dan berada di sudut pedusunan yang tidak jauh dari pemukiman padat penduduk. Lalu, siapa sebenarnya jasad yang berada di dalam nisan tersebut? Banyak orang yang tidak tahu secara pasti dan tidak bisa menjawab dengan gamblang. Kendati demikian warga setempat mengakui kalau makam ini sangat angker, sehingga tidak bisa disepelekan begitu saja, karena makam ini diyakini memiliki tuah yang cukup kuat.
Buktinya, pada malam-malam tertentu sering dikunjungi peziarah yang melakukan ritual peziarahan dengan caranya sendiri. Sehubungan dengan itu, ada juga orang yang mengatakan, bahwa makam tersebut adalah makam tiban, makam tua, di mana orang yang dimakamkan di situ merupakan cikal bakal yang menurunkan warga setempat. Sekaligus juga diyakini sebagai salah satu pelindung gaib, utamanya bagi warga Dusun Benowo, ketika ada bencana maupun musibah yang menimpa. Setiap akan terjadi bencana pasti ada sebagian penduduk setempat mendapatkan firasat, wangsit atau pralambang, dengan begitu bisa memberi tahu tetangganya, sehingga mereka bisa bersiap-siap untuk menanggulanginya.
Bahkan warga setempat juga yakin kalau makam ini juga memiliki tuah bagi orang yang memburu ilmu kekebalan tubuh dari serangan benda tajam maupun benda tumpul, bahkan anti tembak. Sebab, jasad yang dimakamkan tersebut adalah seorang prajurit dugdeng (pilih tanding) yang memiliki partorejoenan (peliharaan) berupa siluman ular buntung (ekornya patah). Jasad ini hidup pada masa kejayaan Keraton Pajang yang dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir yang dikenal ampuh dan sakti mandraguna. Maka ketika prajurit ini meninggal dunia, ular tersebut menjelma menjadi siluman ular penunggu gaib makamnya yang bersemayam di bawah jembatan yang terletak tidak jauh dari makam itu.
Dari sanalah, makam ini dijadikan pepunden warga setempat yang tinggal di tepi aliran Bengawan Solo yang masuk wilayah Dusun Benowo Desa Ngringo. Maka makam ini secara otomatis dikeramatkan, karena melalui pesan gaibnya bisa digunakan sebagai sarana untuk menanggulangi musibah dan bencana yang bakal menimpa warga di lingkungannya. Setidaknya warga lingkungan makam Benowo meyakini, siluman ular buntung itulah yang sering memberi isyarat,bakal terjadinya peristiwa yang tidak mengenakan.
Mengalami kenyataan tersebut, karuan saja jika warga lantas secara gotong royong, akhirnya menyempurnakan kondisi jembatan yang semula hanya terdiri dari glugu, agar bisa sebagai lintasan atau jalan alternative kendaraan yang melintas dari Solo - Karanganyar atau sebaliknya. Penyangga jembatan itu terbuat dari glugu (batang pohon kelapa) yang diyakini sebagai jelmaan siluman ular buntung peliharaan prajurit sakti itu.
Pada tahun 1966, saat Bengawan Solo meluap dan membanjiri area rumah-rumah penduduk sekitar, warga setempat merasa terselamatkan oleh glugu tersebut, karena glugu itu dalam posisi melintang di antara derasnya arus sungai yang menuju ke pemukiman penduduk. Sehingga mampu membendung aliran sungai tersebut yang mengakibatkan, rumah-rumah warga setempat tidak kebanjiran, meski warga lainnya rumahnya digenangi air yang meluap dari Bengawan Solo karena hujan deras pada waktu itu.
Seusai aliran sungai Bengawan Solo itu surut, maka glugu tersebut tetap melintang di sana. Tentu ada beberapa warga yang berusaha menyingkirkannya, namun selalu gagal. Sebab setiap kali disingkirkan glugu itu beberapa saat kemudian glugu itu kembali ke tempat semula. Kejadian aneh dan menakjubkan ini lantas diyakini bahwa glugu ini ditunggu oleh makhluk gaib jelmaan siluman ular buntung. Untuk itulah, warga lantas berinisiatif membangun jembatan di atas glugu (sebagai penyangga) itu. Jembatan tersebut kini juga dianggap keramat, karena seringkali ada kejadian yang tidak masuk akal.
Pada malam hari sejumlah orang sering melihat ular buntung melintas di jembatan itu dan ular tersebut cukup besar, sebesar glugu dengan panjang sekitar 4 meteran. Dengan demikian warga setempat sudah tidak lagi merasa was-was lagi jika musim hujan seperti sekarang ini, meski banyak warga desa lain dikabarkan kebanjiran. Juga diyakini kalau ular buntung tadi peliharaan jasad yang dimakamkan ditengah hutan beringin tersebut. Untuk itulah, seringkali terlihat orang yang melintasi jembatan itu selalu mengucapkan salam dengan caranya sendiri-sendiri, ada yang membunyikan klakson kendaraannya. Ada juga yang mengucapkan salam.
"Saya tidak tahu persis ulah orang-orang yang melintasi jembatan dengan gaya seperti itu, entah hanya sekedar gugon tuhon (mitos) saja, atau memiliki tujuan lain, sebagai isyarat agar selamat dalam perjalanannya atau tujuan lain. Entahlah! tentu mereka sendiri yang tahu maksudnya," ujar Partorejo (87), juru kunci Makam Benowo.
Ditanya mengenai asal muasal makam yang berada di tengah hutan beringin itu, Partorejo mengaku tidak tahu persis. Namun berdasarkan cerita dari mulut kemulut yang diterimanya membenarkan, jika jazad yang dimakamkan itu adalah cikal bakal yang menurunkan warga Dusun Benowo ini. Nama Benowo sendiri merupakan rangkaian kata Beno (Jawa : banjir) dan Wo (sebutan jenis ular sowo) yang kemudian dikaitkan dengan seorang prajurit yang gugur setelah perang usai dan dimakamkan di sana.
"Mungkin prajurit itu kelelahan setelah berlaga, lantas istirahat dan gugur, serta dimakamkan di situ," paparnya, sembari menambahkan, prajurit itu konon bernama Benowo, salah satu panglima perang Kraton Pajang.
Lalu dari dua kisah ini mana yang benar? tentu tidak ada yang tahu, tergantung dari mereka yang mempercayainya. Disinggung mengenai pengunjung yang melakukan ritual di sana dikatakan, biasanya peziarah datang pada hari Kamis Wage dan Kamis Legi malam hari. Puluhan warga yang datang untuk melakukan ritual di Makam Benowo, bukan saja dari wilayah Kabupaten Karanganyar saja, tetapi juga ada yang datang dari Solo, Sragen, Wonogiri, Semarang, Ngawi, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya.
Hal itu terlihat dari plat nomor kendaraan yang mereka gunakan. Peziarah yang berkunjung dan melakukan ritual di situ, biasanya memang datang pada malam hari. Mungkin saja banyak yang berhasil, buktinya, ada beberapa yang membangun makam ini dengan melalui uang pribadinya. Dulu makam itu hanya berupa gundukan tanah saja, kenyataannya sekarang sudah berkeramik putih, kabarnya orang yang membangun berasal dari Jawa Barat.
Begitu juga pagar tembok, sebagai pembatas makam Benowo itu juga dibangun orang dari Madiun yang dulu juga pernah melakukan peziarahan di sana dan berhasil atau dikabulkan permintaannya. Namun demikian, para peziarah yang datang kebanyakan para winasis, mulai dari dukun, paranormal maupun guru sebuah padepokan bela diri, juga orang-orang yang berniat menjadikan tubuhnya kebal benda tumpul dan benda tajam, malah juga ada yang percaya bisa juga untuk anti tembak. Cara melakukan peziarahan di sana juga terserah dengan keyakinannya masing-masing. Tetapi kebanyakan prosesi itu diawali dengan semedi dulu di bawah pohon beringin, lantas melakukan ritual peziarahan di makam.
"Saya hanya sering melihat orang melakukan ritual di sini saat saya membersihkan makam," ujar Partorejo.
Biasanya mereka membawa ubarampe berupa bunga setaman, dupa ratus, kemenyan untuk disulut dan bunganya untuk ditaburkan. Hal itu Nampak dari sisa bunga dan kemenyan serta dupa yang menumpuk. Dalam melakukan ritual tersebut, menurut warga setempat, bagi yang terkabul niatnya akan diberi isyarat dengan datangnya angin yang menyentuh-nyentuh tubuhnya ketika dia manekung (konsentrasi semedi). Jika datangnya angin itu cukup kencang, biasanya peritual ini lantas berdiri dengan posisi kuda-kuda, layaknya orang ingin melakukan gerakan beladiri, entah silat, karate, maupun sikap beladiri yang lain.
Kalau sudah begitu orang tadi seperti menemukan jurus-jurus beladiri tertentu dan melakukan gerakan seperti dalam pertarungan tangan kosong atau menghadapi musuh. Terlihat jumpalitan seperti orang berkelahi. Sejenak kemudian angin pun mulai surut dengan diawali hembusan angin semilir, peritual itu kemudian duduk kembali dan bersikap seperti semula, ini pertanda apa yang diminta telah terkabul. Nah, pada saat itu pula orang tadi akan ditemui sosok seorang prajurit dengan pedang terselip di pinggang kiri.
Di sana dialog gaib pun terjadi, tentu apa yang mereka bicarakan hanya mereka yang tahu. Bukti dari adanya permohonan para peritual kebal badan itu, sering terlihat ada beberapa orang yang menghujamkan golok atau clurit ke tubuhnya sendiri dan tidak mempan, meski dibacok berulangkali. Makam Benowo ini makin lama, semakin banyak dikunjungi orang dan tentunya ada yang berhasil dan tidak. Tetapi yang jelas makam tadi telah dipugar pada tahun 1997. Hal ini terlihat dari tulisan yang terpampang di sudut tembok pembatas makam tersebut.