Rabu Pon, 27 November 2024
Genap satu tahun sudah pengalaman ini aku lalui. Sebuah kenyataan yang begitu menakutkan. Tapi jika aku cermati, begitu besar hikmah yang terkandung di dalamnya yang bisa kupetik menjadi pelajaran dalam kehidupan ini. Pengalaman ini terjadi tepat pada bulan Ramadhan tahun lalu. Waktu itu sudah tiga hari ku menjalani puasa ramadhan. Seperti biasa, sepulang bekerja aku merebahkan diri di serambi belakang rumah sambil menunggu waktu magrib tiba. Entah aku tertidur atau tidak, yang pasti dengan jelas aku dihampiri oleh sosok orang tua dengan memakai kopyah, baju koko putih serta mengenakan sarung lurik. Pakaian muslim yang dikenakan orang itu tampak cukup mewah di mataku. Bukan hanya itu, bau parfum yang dipakainya pun harum dan nampak istimewa.
Si kakek berjalan mendekatiku. Langkahnya begitu berwibawa dan penuh kharisma. Saat itu aku benar-benar tak menyadari kalau diriku berada di balai-balai bambu belakang rumahku sendiri. Seolah-olah aku terhipnotis dengan datangnya sosok ini. Tiba-tiba si kakek menyapaku dengan ramah. "Anak muda, kau sedang apa berbaring di sini sendirian. Waktumu terbuang sia-sia. Masih banyak hal yang bisa kamu lakukan menjelang Maghrib tiba. Bangunlah, jika kau mau, ikutlah denganku. Aku yakin kamu tidak akan menyesal, karena disamping kamu mendapat pahala, kamu juga bisa mendapat pengalaman serta pelajaran dalam hidup keseharianmu!" ajaknya kemudian. Lalu aku terduduk. Kemudian orang tua tersebut tersenyum dan menganggukkan kepalanya ke padaku.
Tak lama kemudian aku bangun dan berjalan mengikuti langkahnya. Aku berjalan mengikutinya. Di sepanjang jalan aku banyak diberinya wejangan mengenai hidup yang selaras, baik dengan sesama manusia maupun dengan Tuhan. Bahkan beliau juga bercerita mengenai alam gaib, alam di mana manusia nantinya akan menuju serta menempatinya sebagai kehidupan yang kekal. Nampaknya kakek ini sangat paham mengenai alam gaib. Karena tutur katanya begitu lembut serta santun, aku meyakini kalau si kakek adalah seorang mubaligh. Tapi aku belum tahu persis siapa orang tua ini sebenamya. Tepat di persimpangan jalan, si kakek menghentikan langkahnya, lalu menunjuk sesuatu kepadaku. "Kau lihat bangunan megah itu? Itu adalah tempat menuju kebahagiaan yang abadi. Di tempat itulah kamu bisa menemukan hakekat diri kamu yang sejati, jalan dunia akhirat. Bukan melamun di balai-balai bambu di belakang rumahmu itu!" ucapnya lagi.
"Bangunan yang nampak megah dan mewah itu apa, Pak?" tanyaku ingin tahu. "Panggil saja aku Abah, seperti mereka yang lain di kaumku!" jawabnya. Kaumku? Batinku. Apa maksud orang tua ini dengan menyebut kaumku? Tapi pikiran itu langsung ditepisnya dengan jawaban dan Abah. "Itu adalah Masjid. Saat-saat bulan Ramadhan seperti ini, jika sore hari menjelang adzan Maghrib tiba mereka ramai berkumpul cii Masjid untuk mengikuti pesantren kilat sambil menunggu datangnya waktu buka puasa," jawabnya pula, menjelaskan. Rupanya, orang-orang yang ramai berkumpul itu akan mengikuti sebuah pesantren kilat yang diadakan di Masjid yang sangat megah dengan gaya arsitektur seperti masjid di gurun pasir. Baru kali ini aku melihat sebuah bangunan masjid yang bergaya kuno dan antic, namun terlihat sangat megah. Padahal rasanya tak begitu lama aku berjalan dengan Abah, tapi sudah sampai di masjid ini, berarti Masjid ini masih berada di daerahku, Kartasura. Tapi mengapa baru kali ini aku melihatnya? Pikirku dalam hati.
Kuikuti langlah si kakek memasuki masjid megah itu. Rupanya, mereka yang berada di dalam masjid ini bukan hanya kaum mudanya saja, tapi banyak pula orang tua serta anak-anak. "Mari kita duduk di sana. Mereka sudah menunggumu!" ucap Abah kemudian. Sambil melangkah memasuki ruangan masjid yang begitu luas dan megah, aku masih diliputi rasa kebingungan. Memang, di dalam ruangan itu sudah banyak hadirin. Bahkan saat kami masuk seolah menjadi perhatian mereka. Hampir semua mata tertuju kepada aku dan Abah, sebagian dari mereka bangun utuk memberi salam dan penghormatan pada kakek ini. "Ayo kau duduklah disampingku," perintah Abah mempersilahkan padaku.
Aku duduk di samping Abah, persisnya di depan para hadirin. Saat itulah aku baru sadar, kalau temyata benar dugaanku. Ya, Abah adalah seorang mubaligh di masjid itu. Setelah Abah mengucapkan salam dia mengenalkanku kepada para hadirin. "Kaum muslimin sekalian. Aku perkenalkan seseorang yang berada di sampingku ini, dia datang dari jauh. Dia adalah kaum manusia, tapi dia merupakan saudara kita juga, satu iman dan satu kepercayaan. Walaupun berbeda alam, tapi hendaklah perbedaan ini justru menambah keykinan serta meningkatkan kepercayaan kita kepada Tuhan. Itulah KeagunganNYA, hamba Tuhan ada di seluruh alam, baik alam rnanusia maupun alam gaib seperti yang kita tempati ini," ucap Abah mengawali khotbahnya, yang membuatku benar-benar terkejut.
Ya, temyata aku berada di alam gaib. Aku tidak tahu apakah aku sedang bermimpi atau aku justru sudah mati? Tanyaku dalam hati. Seketika itu juga aku rasanya menjadi perasaanku tak karuan. Aku semakin sadar kalau diriku kini berada di alam gaib ternpat para jin dan makhluk halus lainnya Tapi satu hal yang membuatku terasa sedikit tenang, yaitu si kakek mengakui kaumnya adalah kaum Muslim. Dan yakin itu, karena melakukan ibadah serta rutin menjalani pengajian-pengajian. Terbukti saat inipun si kakek pun sedar-melaksanakan pesantren kilat yang diadakan setiap sore menjelang berbuka puasa. Benar pandangan kaum manusia, kalau jin itu juga tak ubahnya seperti manusia. Ada yang kafir, bersifat baik dan buruk. Bahkan mereka nampak begitu ramah dan santun. Tidak hanya itu, menurut Abah pengetahuan mereka mengenai agama Tuhan juga tidak bisa diremehkan. Menurutnya pula, beberapa anak muda di kaumnya juga merupakan jebolan sebuah universitas di Kairo, Mesir. Mungkin pula universitas itu berada di alam gaib. Entahlah!
"Kau sudah menjadi bagian dari kami anak muda. Kaummu dengan kaum kami sama saja di hadapan Tuhan. Tuhan kita sama, adat kebiasaan kita juga sama, yang membedakannya hanyalah bangsaku bisa melihat bangsamu, tapi bangsamu tidak bisa melihat kaumku. Dan selama ini kaummu banyak salah duga terhadap bangsaku. Oleh karena itu, kali ini kamu aku ajak untuk melihat langsung kegiatan kaumku pada bulan Ramadhan, agar nanti tidak ada lagi praduga yang keliru atau penilaian yang miring terhadap bangsaku," tutur Abah menerangkan di sela-sela khotbahnya saat mengisi pesantren kilat tersebut. Aku tak bisa berucap apa-apa selain hatiku masih diliputi rasa kagum dan heran. Aku juga sedikit grogi, walaupun mereka yang hadir hanya saling melempar senyum. Tapi tak bisa aku elakkan kalau bangsa gaib ternyata banyak memiliki persamaan dengan bangsa manusia, dari segi fisik, prilaku dan juga adat istiadatnya. Yang sedildt membedakan hanyalah raut wajahnya.
Pada umumnya wajah bangsa gaib sedikit lebih oval (agak memanjang) dibanding dengan manusia kebanyakan yang memiliki wajah bulat. Abah masih terus berdakwah untuk mengisi kegiatan rutin pesantren kilat tersebut. Dan sesekali beliau menyinggung persamaan serta perbedaan antara bangsa halus (gaib) dengan bangsa manusia. Tapi jujur aku katakan di sini, ajaran serta hikmah yang terkandung dalam pesantren kilat yang diisi oleh Abah begitu bagus dan berbobot. Apa yang diuraikannya membawa nilai-nilai kehidupan baik dunia dan akhirat serta mengandung ketauhidan yang begitu dalam. Aku sempat canggung saat Abah memintaku untuk mengisi pembicaraan, walaupun sepatah dua patah kata. "Terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada ya kali ini. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Abah, bahwa kaum kami salah duga atas kalian penghuni gaib. Sebelumnya saya minta maaf atas Tapi semua itu dikarenakan ketidaktahuan atas mereka terhadap kalian sehingga timbullah praduga yang tidak sesuai dengan kenyataan. Jujur saya katalcan di sini, memang benar bangsa kami banyak yang beranggapan bahwa bangsa jin yang mendiami dunia gaib identik dengan kejahatan serta mayoritas kafir. Dengan adanya kunjungan saya ke dunia gaib pada bulan Ramadhan kali ini, bahkan dengan jelas saya telah mengikuti pesantren kilat yang diadakan di masjid ini. Maka sekembalinya saya ke alam manusia nanti, diharapkan tidak ada lagi praduga-praduga yang miring, bahkan diharapkan menambah keharmonisan serta kerjasama yang baik agar bisa hidup selaras serta berdampingan, walaupun berbeda alam.
Semua makhluk Tuhan bisa saja berbuat jahat, iri dan dengki. Baik itu penghuni alam gaib maupun dunia manusia. Baik dan buruk tergantung dari ketakwaan serta keimanan kita kepada Tuhan. Di bulan suci Ramadhan ini, kami mewakili kaumku untuk meminta maaf kepada bangsa gaib, khususnya para hadirin yang menghadiri pesantren kilat ini," paparku tulus. Hampir dua jam lamaya pengajian itu dilaksanakan. Sampai akhimya waktu yang ditunggu-tunggupun tiba. Tepat ketika beduk Maghrib waktunya berbuka puasa. Beberepa orang kaum perempuan nampak membawa nampan yang berisi ta'zilan sebagai menu pembuka berbuka puasa. Karena didorong rasa kekeluargaan serta perut yang seharian kosong, aku tak canggung untuk bersama-sama menyantap makanan yang telah tersedia di depan kami itu. Setelah berbuka, tak lama kemudian kami bersama-sama menjalankan sholat Maghrib berjamaah. Setelah selesai sholat, beberapa wanita kembali membawa bakul-bakul yang berisi nasi serta lauk wuknya. Aku dipersilahkannya untuk langsung berbuka puasa. Kali inipun aku tak bisa untuk menolaknya kembali. Akhirnya kami melaksanakan buka bersama. Benar adanya, Abah beserta kaumnya begitu ramah dan familier. Di sela-sela menikmati buka puasa, banyak gurauan yang mengundang tawa, sehingga menambah akrabnya hubungan kami.
Selang beberapa saat kemudian, kami pun melanjutkannya dengan sholat Tarawih bersama. Seusai Tarawih, sebagian dari kami ada yang pulang ke rumahnya masing-masing. Tapi ada sebagian juga yang memilih tetap berada di masjid untuk menjalankan tadanisan hingga malam menjelang. Memang, kegiatan bulan Ramadhan di masjid itu tak henti-hentinya dan selalu ramai oleh para gaib kaum muslimin. Tapi sayang, setelah sholat Tarawih, Abah mengajakku pulang, dan akupun tanpa banyak tanya mengikutinya saja. "Sekarang kamu sudah tahu makna dari arti kehidupan yang selalu berkesinambungan, selaras dan sejajar dengan makhluk lain selain ciptanNya. Tujuannya hanya satu, agar bahagia dunia akhirat. Tidak terperosok dan terjerumus nafsu serta hasutan setan," tutur Abah kemudian. "Terima kasih atas segala bimbingan serta petunjuknya, Abah. Mudah-mudahan bisa bermanfaat bagi saya dunia akhirat," ujarku dengan takzim. "Sekarang kau sudah sampai di rumahmu lagi. Kapan-kapan jika mau, kau bisa berkunjung kembali ke masjid itu, karena aku Imam di masjid tersebut. Asalamu'alaikumm!" ucap Abah mengakhiri pertemuan itu.
Aku tersentak, betapa terkejutnya aku, sebab isteri bersama kedua orang tuaku sedang menangis di sisiku. Aku tak tau apa yang sedang ditangisi. "Syukurlah! Mas, kau telah siuman. Terima kasih Tuhan!" ycap isteriku sembari menangis. Aku masih belum tau dan faham dengan ucapan isteriku itu. "Apa yang telah terjadi denganku?" tanyaku sambil bingung bukan kepalang. "Kau tadi sore ditemukan pingsan di balai-balai bamboo di belakang rumah kita hingga bakda tarawih sekarang ini Mas baru sadar," jelas isteriku. Pingsan? Aneh? Aku merasa baik-baik saja, bahkan rasanya semakin bugar karena perutku telah kenyang, pikirku dalam batin. "Jika kau merasa sakit dan tak kuat berpuasa, ya sudah berhentilah di tengah jalan, jangan kau paksakan dirimu!" kata Ayah mertuaku yang memang tinggal di dekat rumahku.
Sekarang aku baru tahu. Ternyata saat aku diajak Abah berkunjung ke alam gaib untuk mengikuti pesantren kilat itu, aku di kira pingsan. Pantaslah jika mereka mengkhawatirkanku. Tapi aku tak yakin kalau itu hanyalah mimpi, sebab terbukti perutku masih terasa kenyang atas jamuan buka puasa bersama di alam jin itu. Rupanya benar. Bangsa jin memang tak seperti yang aku bayangkan, yaitu seram, jahat serta beringas. Tapi mereka sebenamya justru ramah. baik dan ingin hidup selaras serta sejajar dan berdampingan dengan kita. Namun tentu saja ada bangsa jin yang memang berupa seram dan mengerikan, termasuk pula kelakukannya yang sangat buruk. Semua pengalamanku aku ceritakan kepada isteriku serta seluruh keluargaku, bahkan merambat sampai ke teman-temanku, dengan tujuan agar mereka tak salah persepsi semua makhluk gaib itu jahat. Terbukti abah beserta kaumnya mau mengundang dan mereka menyambutku dengan baik. Bahkan ingin rasanya aku bisa ke masjid itu lagi agar bisa saling tukar pikiran mengenai agama serta kehidupan antara dunia manusia dengan dunia gaib. Tapi entah kapan Abah akan mengajakku ke alamnya lagi. Mudah-mudahan pengalaman yang benar-benar aku alami saat bulan Ramadhan ini bisa menjadi renungan bagi pembaca di manapun berada. Dan satu hal yang kami ingatkan kembali, bahwa makhluk gai.b berjenis Jin Muslim, tak rela jika dirinya disamaratakan dengan jenis Jin Kafir. Karena Jin muslim sangat taat serta patuh dalam menjalankan perintah Tuhan.