Rabu Pon, 27 November 2024
Entah apa kesalahan yang dilakukannya sehingga ia harus mengalami kejadian-kejadian pahit dalam hidupnya. Mungkin, rangkaian peristiwa ini sangat sulit diterima akal sehat, mengingat berbagai keanehan yang terjadi. Keanehan itu sampai pada keluarnya ulat dan serangga dari payudaranya. Berikut kesaksian rita amelia yang kami rangkai dalam lembar catatan hitam.
Sebagai seorang yang dilahirkan dari keluarga yang cukup berada, aku bisa dikatakan wanita yang cukup beruntung. Kecantikan yang kumiliki kuwarisi dari mama yang masih keturunan darah biru, sedangkan papa memberikan warisan yang tak kalah berharga yakni keluwesan sikap dalam bergaul dengan siapa saja. Kedua hal inilah yang menjadi modal dalam hidupku, sehingga aku disenangi banyak orang.
Mengingat didikan keluarga yang ketat, ditambah lagi aku anak perempuan satu-satunya dari 3 bersaudara, maka aku baru mengenal apa yang namanya hubungan pacaran setamat SMA. Padahal, begitu banyak cowok yang naksir padaku, namun aku selalu memberikan respon ala kadarnya dan pada akhirnya mereka semua hanya kuanggap sebagai teman biasa. Masuk kuliah semester awal barulah aku berpacaran.
Redy Pryambada, kakak kelasku semasa SMA dulu yang kebetulan kuliah di universitas yang sama denganku, boleh dikatakan sebagai cinta pertamaku. Sayangnya, hubunganku dengannya hanya bertahan kurang lebih setengah tahun saja. Aku kecewa dengannya, sebab pada akhirnya aku tahu kalau ia hanya mencintai keindahan tubuhku. Redy pernah memaksaku melakukan hubungan tidak senonoh, seperti layaknya pasangan suami isteri. Sambil menangis kutampar wajahnya dan kutinggalkan ia di dalam kamar losmen yang telah disewanya.
Sejak saat itu hubungan kami putus. Meskipun berulang kali Redy meminta maaf, namun aku tak dapat membukakan pintu maaf walau sedikitpun untuknya. Setelah putus dengan Redy, masih ada beberapa cowok lain yang singgah dalam hatiku. Namun rangkaian kisah ini tak perlu kuceritakan sebab jalinan asmaraku dengan mereka hanya hambar-hambar saja dan tidak meninggalkan kesan berarti. Justeru, ada satu nama yang sangat berkesan dalam hidupku. Dialah Agus Dwiyogo. Cowok ini benar-benar seorang kekasih sejati. Ia memalmai cintanya dengan kasih sayang yang tulus, dan ia tidak pernah berulah macam-macam terhadap diriku.
Selama berpacaran lebih dari satu tahun lamanya, Dwiyogo hanya sempat mengecup bibirku. Ini terjadi di saat perayaan pesta ulang tahunku. Memang, bisa dikatakan Dwiyogo adalah seorang lelaki yang sangat memuliakan wanita. Ia pernah mengatakan bahwa wanita itu adalah makhluk teragung di matanya, dan oleh karena itu ia tak ingin memperlakukan wanita hanya sekedar untuk kepuasaan nafsu. Aku tahu mengapa ia berkesimpulan seperti ini, sebab ternyata sejak kecil ia telah kehilangan ibunya, yang meninggal dunia saat melahirkan dirinya. Mungkin karena itu ia selalu melihat ada sosok ibu dalam diri setiap wanita, termasuk pula aku sebagai kekasihnya.
Meskipun Dwiyogo tidak agresif dalam urusan bercumbu, namun kepribadiannya yang dewasa dan santun telah merebut seluruh hatiku. Demikian pula dengan kedua orang tuaku. Ya, papa dan mamaku merestui hubunganku dengan Dwiyogo. Bahkan mereka selalu menanyakan: "Kapan kalian akan lebih serius lagi?" Pertanyaan ini selalu kujawab dengan malu-malu, bahwa aku tak ingin berumah tangga sebelum selesai kuliah.
Rencana tinggal rencana, mimpi tinggallah mimpi. Pada akhirnya Dwiyogo harus sirna dari kehidupanku. Cowok penyabar itu harus kehilangan kesabarannya ketika ia tahu kalau aku terlibat affair dengan cowok lain. Dan, cowok lain yang kumaksud tak lain adalah Redy Pryambada, mantan pacarku. Mengapa aku harus menerimanya kembali? Aneh, bukan? Padahal, sejak ia memaksaku untuk melakukan hubungan intim di losmen dekat Kaliurang itu, sejak itu pula kunistikan ia dalam kehidupanku? Lantas, mengapa setelah 3 tahun berpisah aku harus menerima kehadiran Redy, bahkan untuk hal yang sangat naif ini aku sampai tega hati mengkhianati Dwiyogo dengan cinta sucinya? Mungkinkah ini karena magnet cinta pertama yang kata orang memang sangat dahsyat? Tidak! Semua ini sesungguhnya terjadi di luar kendali akal sehatku.
Pertemuanku dengan Redy berawal dari acara reuni SMA. Waktu itu aku berusaha menghindar darinya, namun ia selalu berusaha mendekatiku, sampai akhirnya terjadilah perbincangan penuh kekakuan di antara kami. Maklum, sebagai mantan pacar sudah barang tentu aku tidak bisa bersikap wajar padanya, karena walau bagaimana pun banyak kenangan indah yang belum dapat kulupakan sepenuhnya. Celakanya lagi, pertemuan yang semula serba kaku dan kikuk itu lambat laun mencair ke dalam suasana yang semakin akrab. Aku menduga bahwa memori cinta pertamaku dengannya telah menggoda jiwaku. Bayangkan saja, sejak pertemuan di malam reuni SMA itu segala hal terindah tentang Redy Pryambada kian menyesaki dadaku. Mungkin cinta pertama telah bersemi kembali, tanpa pernah kusadari keanehan di balilmya.
Begitu kuatnya godaan ini sampai kedudukan Dwiyogo dalam singgasana hatiku mulai tergeser karenanya. Puncaknya, Dwiyogo memergokiku saat aku berkencan dengan Redy Pryambada. Esok harinya ia menemuiku dan dengan tegar ia nyatakan keputusannya untuk memilih berpisah denganku.
"Sebagai seorang pecinta aku tentu harus rela berkorban untuk orang yang kucintai. Aku rela melepaskanmu asalkan kau bahagia karenanya." Itulah sebait kalimat Agus Dwiyoga yang tak pernah kulupakan seumur hidupku.
Serangkai kata yang mungkin hanya bisa terucap dari mulut seorang pecinta sejati. Namun, kala itu aku tak mempedulikannya. Tak ada keharuan dalam hatiku. Bahkan, setelah putus dengan Dwiyoga, hubunganku dengan Redy Pryambada terus berlanjut semakin mesra. Puncaknya, Redy meminangku dan kami pun akhirnya menikah di penghujung 2007 silam. Awalnya, aku menduga pernikahanku dengan Redy akan bahagia. Dari buah cintaku dengannya kami dikaruniai seorang puteri yang sangat lucu. Rasanya lengkap sudah kebahagiaan keluarga yang sejak dulu kuidamkan. Namun, kehadiran seorang anak tidak lantas dapat mengubah sikap Redy. Ia makin sering pulang malam dan nongkrong di night club bersama teman-temannya. Tak jarang ia pulang dalam keadaan mabuk dan tak segan-segan menjatuhkan tangannya di tubuhku bila aku menegurnya.
Kendatipun kenyataan yang kuhadapi demikian menyakitkan, namun aku selalu merahasiakannya di mata keluarga, terutama di hadapan papa dan mamaku. Maklum saja, dulu kedua orang ini yang berusaha keras menentang pernikahanku dengan Redy. Hanya karena demi kasih sayangnya padaku, atau mungkin juga karena tidak ingin mendapat cap sebagai orang tua yang kolot, mereka kemudian terpaksa merestui pernikahanku dengan lelaki pilihanku itu.
Bisa dibayangkan apa jadinya jika kemudian mereka tahu kalau rumahtanggaku tidak bahagia. Mungkin mereka akan sepenuhnya menyalahkanku dan tak ingin melibatkan diri lebih jauh lagi. Kemungkinan inilah yang kutakutkan sehingga aku selalu berpura-pura di hadapan mereka. Tetapi tidak selamanya aku harus hidup dalam kepura-puraan. Ketika aku tahu suamiku menyimpan perempuan lain di belakangku, watak asliku yang keras pun akhirnya bangkit. Tanpa peduli pada keutuhan rumah tangga, dan seperti apa penilaian kedua orang tua terhadapku, aku nekad menuntut cerai dari Redy Pryambada. Sungguh di luar dugaanku, Redy Pryambada sama sekali tidak merasa keberatan dengan tuntutanku ini.
"Kau pikir aku ingin hidup lebih lama lagi denganmu? Selama ini aku hanya ingin membalaskan dendam dan sakit hatiku sebab dulu kau begitu angkuh dan sok suci di hadapanku. Sekarang aku sudah puas," katanya dengan nada sinis.
Betapa menyakitkan kata-kata itu. Aku baru sadar sepenuhnya kalau Redy tak pernah mencintaiku dengan tulus. Rupanya ia masih menyimpan dendam atas kejadian di losmen dekat Kaliurang itu, ketika aku menolaknya mentah-mentah untuk melakukan hubungan badan dengannya. Bahkan berawal dari peristiwa itu aku langsung mencampakkan Redy dan pindah ke cinta yang lain. Mengapa aku begitu bodoh menerima Redy kembali dan mencampakkan Dwiyoga yang tulus mencintaiku? Dulu, Miranti, karibku, pernah mengatakan kalau aku kemungkinan sudah diguna-guna oleh Redy. Aku sempat menertawai dugaannya ini. Tetapi belakangan, kusangka tudingan Miranti ini ada juga benarnya.
Bayangkan, aku yang sangat membenci dan bersumpah untuk melupakan Redy, dengan mudahnya menerima ia kembali. Apa alasannya? Sama sekali tidak ada. Padahal, ketika itu cintaku kepada Dwiyoga tengah bersemi dengan subur, dan kami telah merancang masa depan yang akan kami lalui bersama. Tetapi semua itu hancur lebur begitu aku bertemu dengan Redy di malam reuni SMA, dan sejak itu pula aku tak pernah sanggup menolak ajakannya untuk berkencan, sampai kemudian Dwiyoga mencium kebusukanku ini. Setelah bercerai dengan Redy, aku pun kian menyadari kalau lelaki itu memang telah berbuat jahat terhadapku. Mungkin persis seperti yang disangkakan Miranti terhadapnya, bahwa Redy memang telah mengguna-gunaiku.
Ya, saat baru menikah dan tinggal serumah dengannya, beberapa kali kupergoki Redy bertingkah laku aneh. Ada beberapa jenis makanan atau minuman yang disuguhkannya kepadaku secara sembunyi-sembunyi. Dan, aku tahu pasti ia mencampurkan sejenis bubuk ke makanan atau minuman itu, yang aku sendiri tidak tahu apa persisnya bubuk tersebut. Apakah dengan cara seperti itu Redy Pryambada mengguna-gunaiku? Ah, betapa naifnya aku yang tidak pernah menaruh curiga kepada lelaki itu atas perbuatannya yang jelas aneh. Aku sedemikian buta mencintainya, sehingga aku diperbodoh oleh cinta yang memang tumbuh di luar kesadaran normalku. Sejak bercerai dengannya, aku bersumpah akan menempatkan Redy Pryambada dalam kamus orang yang paling kubenci. Ia telah menghancurkan hidupku dan telah mengubur seluruh kebahagiaanku.
Walaupun pernikahanku berantakan, tapi aku masih mencoba bersikap tegar. Anakku yang masih kecil kubawa ikut denganku. Syukur Alhamdulillah, aku bekerja di sebuah perusahaan BUMD di Jawa Tengah, sehingga karena itu aku tak mendapatkan banyak kesulitan dalam hal ekonomi. Aku pun tak ingin memendam trauma berkepanjangan karena kepahitan yang pernah menimpaku. Kehancuran yang pernah kualami tak ingin kujadikan alasan untuk menjauhi semua pria. Karena itulah kuputuskan untuk menerima pinangan Jimanto, duda dengan dua orang anak, yang cerai mati dengan isterinya. Aku menikah dengannya pada pertengahan 2008 lalu dengan mas kawin hanya berupa perlengkapan sholat lengkap.
Ir. Jimanto seorang pejabat di sebuah instansi pemerintah. Ia seorang lelaki penuh pengertian yang mau menerimaku apa adanya. Kurasa telah kutemukan kembali kebahagiaanku yang dulu hilang. Tetapi, cobaan tetap saja datang mendera kehidupanku. Sejak kami menikah, aku sering mengalami rasa sakit, terutama di bagian bawah perutku, persisnya di daerah rahimku. Sekian waktu lamanya kucoba merahasiakan kesakitan ini, sebab aku tak ingin mengecewakan suamiku. Saat melakukan hubungan intim aku selalu berpura-pura menikmatinya, padahal sesungguhnya yang kurasakan bukanlah kenikmatan melainkan suatu siksaan yang teramat sangat.
Walau harus kulalui malam-malam yang penuh penderitaan, namun menjelang satu tahun usia perkawinan kami, aku mulai mendapatkan tanda-tanda kehamilan. Tentu saja ini merupakan kebahagiaan bagi kami dan Mas Jim, begitu aku biasa menyapa suamiku yang penyabar itu. Sayangnya, memasuki bulan keempat masa kehamilan aku mengalami keguguran. Rasanya begitu sedih sebab harus kehilangan anak yang sangat kami dambakan. Lebih sedih lagi adalah kenyataan bahwa aku sudah tak sanggup lagi untuk melayani Mas Jim. Rasa sakit pada organ intimku saat melakukan hubungan sudah tak mungkin bisa kutahan lagi.
Akhirnya, aku pun terpaksa menceritakan keadaan ini kepada suamiku. Mas Jim cukup mengerti. Apalagi ia menghubungkan kondisiku ini dengan peristiwa keguguran yang pernah kualami. Setelah mendengar keluhanku, Mas Jim mengajakku berobat ke dokter ahli kandungan. Anehnya, berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium dan USG dokter menyimpulkan bahwa aku tidak mengalami kelainan apapun. Ia hanya menyarankan agar aku banyak beristirahat dan mengkonsumsi beberapa vitamin penunjang vitalitas.
Hari-hari selanjutnya aku semakin merasa aneh karena perut bagian bawahku semakin sering terasa sakit meskipun kami stop melakukan hubungan intim. Sakitnya terasa melilit, atau terkadang seperti ditusuk-turuk. Mas Jim yang begitu menyayangiku kembali mengajakku berobat ke dokter spesialis kandungan. Namun, lagi-lagi dokter mengatakan bahwa aku tidak menderita kelainan apapun. Seperti dokter terdahulu, dokter spesialis kandungan yang satu ini pun lagi-lagi hanya menyarankan agar aku banyak istirahat dan mengkonsumsi beberapa jenis vitamin. Ketika rasa sakit di bagian atas organ kewanitaanku itu semakin sering datang, aku pun memutuskan untuk meminta cuti kerja.
Sesuai hasil rembukan dengan Mas Jim, masa cuti ini kami gunakan untuk mencari pengobatan dengan cara lain. Tentu saja yang dimaksud adalah berobat ke paranormal. Semula Mas Jim kurang sepaham dengan usulku ini. Namun setelah aku berusaha meyakinkannya, ia pun akhirnya mau juga menuruti ideku. Sesuai dengan informasi yang kuperoleh dari seorang teman, aku mengajak Mas Jim mengunjungi seorang paranormal di daerah Salatiga, yang katanya punya ilmu sangat mumpuni. Dari paranormal inilah kami mendapatkan suatu kesimpulan yang sangat menegangkan.
"Sepertinya sakit Ibu ini tidak wajar. Ibu terkena guna-guna," kata pria dengan rambut memutih itu setelah melakukan ritual di dalam kamar khususnya.
Mendengar keterangan ini, aku teringat pada Miranti, sahabatku semasa kuliah dulu. Bukankah Miranti pernah mengatakan bahwa aku kemungkinan telah diguna-gunai oleh Redy Pryambada? Lantas, apakah sakitku ini masih ada hubungannya dengan mantan suamiku itu? Ya, apakah Redy belum merasa puas membalaskan dendamnya padaku, sehingga dia tega menyiksaku dengan penyakit aneh ini? Atau mungkinkah ada pihak lain yang diam-diam menaruh dendam padaku dan ingin membuatku mati secara perlahan dengan guna-guna yang dikirimnya? Siapa orang itu? Agus Dwiyogo-kah? Ah, tidak mungkin! Lelaki itu sepertinya terlalu suci untuk kuhujani dengan tuduhan nista ini. Mungkin, aku memang tak perlu mencari-cari siapa sesungguhnya dalang di balik penderitaan yang kualami. Yang penting bagiku adalah bagaimana bisa secepatnya sembuh dari penyakit yang telah merenggut kebahagiaanku ini.
"Tolonglah bantu saya menyembuhkan penyakit ini, Pak!" pintaku kepada lelaki berjangut putih itu. Paranormal itu menyanggupinya. Ia pun menyiapkan pengobatan untukku. Yang mengejutkan, setelah prosesi pengebotan ini ia mengeluarkan dua buah tanduk kecil dari dalam tubuhku.
"Lihatlah, selama ini di dalam kemaluan Ibu ada dua tanduk yang berasal dari sejenis serangga ini. Kedua benda inilah yang membuat Ibu mengalami sakit yang sangat hebat," katanya sambil menunjukkan tanduk serangga sebesar kepala lidi yang ditaruhnya di atas piring kecil berisi rendaman daun sirih.
Kuperhatikan, benda itu memang mirip tanduk binatang. Mungkin berasal dari semacam serangga yang biasa ada di pohon kelapa. Betapa ngeri membayangkan kalau selama ini kedua benda hitam itu tertanam dalam kemaluanku.
"Kira-kira siapa yang melakukan ini, Pak?" tanya Mas Jim yang sepertinya sangat penasaran.
"Sepertinya seseorang yang pernah sangat dekat dengan Ibu," jawab si paranormal.
Mendengar jawaban ini aku langsung teringat lagi pada Redy Pryambada, lelaki yang pernah mencampakanku ke lembah sengsara.
"Apakah dia mantan suami saya, Pak?" tanyaku. Lelaki tua itu menatapku dengan sedikit gusar.
"Lupakanlah!" katanya seolah ingin menutup-nutupi sesuatu.
Walaupun si paranormal berusaha menutupinya, namun kegusaran di wajahnya sudah cukup memberikan jawaban bahwa kecurigaanku itu memang benar adanya. Jika betul demikian, alangkah jahatnya mantan suami pertamaku itu. Dulu dia mengguna-gunaiku untuk mendapatkan tubuhku, dan sekarang dia kembali mengguna-gunaiku untuk menghancurkan kebahagiaan yang sudah kudapatkan. Syukur Alhamdulillah, setelah berkunjung sekitar 5 kali ke rumah paranormal di Salatiga itu penyakitku dinyatakan sembuh.
Sudah tentu ini merupakan kebahagiaan yang sangat sulit untuk dilukiskan. Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Memasuki tahun 2010, aku mendapatkan kenyataan baru yang sangat mengejutkan. Entah apa yang menyebabkannya, tiba-tiba muncul benjolan di dekat puting payudaraku sebelah kiri. Mulanya hanya kecil sebesar biji jagung, namun kian hari semakin membesar, sampai sebesar bola bekel. Meski tidak menimbulkan sakit, namun benjolan ini sering kali terasa gatal dan gatalnya semakin menjadi-jadi bila kugaruk.
Karena aku begitu takut akan mendapat vonis kanker payudara, maka aku menolak dengan keras ketika Mas Jim mengajakku konsultasi ke dokter. Untunglah ia begitu sabar memberikan pengertian padaku, sehingga akhirnya aku pun menyerah mengikuti saran dan nasehatnya. Syukur Alhamdulillah dokter yang memeriksaku menyatakan bahwa benjolan di atas payudaraku itu bukan kanker, sebab aku tidak mengalami rasa nyeri, kecuali hanya gatal-gatal saja. Menurut sang dokter, bisa jadi benjolan itu hanya merupakan pembengkakan kelanjar yang disertai iritasi kulit. Ia pun memberikan salep kulit untuk menghilangkan gatal-gatal.
Anehnya, setelah benjolan itu diolesi dengan salep gatal, justeru gatalnya semakin menjadi-jadi, bahkan kemudian menimbulkan koreng akibat infeksi. Melihat kenyataan ini aku semakin panik, namun sekali ini aku keukeuh menolak ajakan Mas Jim yang kembali ingin membawaku konsul ke dokter. Mas Jim pun tak kuasa lagi membujukku ketika tangisku meledak dalam pelukannya. Hari berikutnya kuturuti kemauan Mas Jim yang mengajakku berobat kepada seorang sinshe yang cukup ternama. Namun, sama seperti dokter yang pernah mendiagnosaku, sinshe ini juga menyatakan bahwa benjolan di payudaraku itu bukanlah kanker. Alasannya adalah karena aku tidak mengalarni kesakitan, kecuali rasa gatal saja. Padahal, menurutnya, ciri-ciri kanker itu adalah rasa sakit teramat sangat yang dialami penderita.
Setelah minum obat-obatan Cina yang diberikan sinshe tersebut rasa gatal di payudaraku memang mereda. Namun ini bukan berarti benjolannya mengempis, tapi malah semakin membesar. Yang membingungkan, meski gatalnya reda namun luka akibat infeksi pada payudaraku itu malah semakin meradang, sehingga nampak menjijikan. Puncak dari keanehan itu terjadi ketika suatu pagi. Waktu itu aku sedang ada di kamar mandi dengan maksud ingin membersihkan tubuhku. Ketika kulepas seluruh pakaianku dan aku siap mandi, tiba-tiba kudapatkan sesuatu di atas payudaraku yang luka. Ya, pada luka itu tampak ulat-ulat kecil berlompatan sedemikian rupa. Dan yang lebih aneh lagi ketika dari lobang luka juga terbang dua ekor serangga hitam mirip seekor kumbang.
Menyaksikan hal yang tidak masuk akal ini aku langsung histeris dan memanggil suamiku yang tengah menikmati hari liburnya. Aku tak ingat apa-apa lagi, sebab ketika Mas Jim datang aku sudah tak sadarkan diri. Namun yang juga aneh, Mas Jim sama sekali tak melihat belatung-belatung dan serangga hitam mirip seekor kumbang seperti apa yang kulihat sebelumnya. Kami pun memutuskan untuk berobat ke paranormal yang dulu menyembuhkan aku namun sayangnya paranormal tersebut sudah meninggal dunia.
Demikianlah catatan hitam yang kualami dimana aku mengalami serangat ilmu hitam secara bejilid-jilid atau bertubi-tubi. Aku berpikir serangan ilmu hitam yang terus menerus tidak akan berhenti sampai si pelakunya bertobat. Jika satu dukun tidak mempan, maka ia akan mencari dukun lainnya sampai rencananya berhasil. Sepertinya memang tidak ada cara lain melainkan si pelaku harus dikalahkan atau diberikan pelajar agar berhenti melakukan perbuatannya tersebut.Semoga Allah memberikan petunjuk dan kesembuhan dengan segala dan upaya yang sedang aku lakukan.