Rabu Pon, 27 November 2024
Malam telah tiba saat Marno sampai di Petilasan Abah Olot di desa Gundul. Disebut desa Gundul karena desa yang terletak di lereng Bukit Gundul yang hanya berpenghuni tidak lebih dari 10 Kepala Keluarga dan 34 jiwa itu memang sangat tandus. Struktur tanahnya yang sebagian besar terdiri dari bebatuan cadas dan pasir itu membuat rumput tidak tumbuh subur, apa lagi pepohonan. Kondisi inilah yang membuat orang enggan bermukim di desa terpencil itu. Para penduduk yang bertahan di desa itu pun kesehariannya banyak yang sengaja mencari pekerjaan di kampung lain.
Di desa itu ada sebuah Petilasan. Di belakang Petilasan itu terdapat sepasang makam suami istri yaitu makan Ki Ontorejo dan istrinya Nyi Sekar. Konon sepasang suami istri ini dulu adalah tuan tanah yang menguasai desa itu. Petilasan itu menururt cerita para kekolotan dibangun oleh salah seorang anak Ki Ontorejo untuk menghormati almarhum orangtuanya. Dan seiring dengan berjalannya waktu, entah siapa yang memulainya tempat itu kemudian dikeramatkan oleh sebagian orang dan dipercaya sebagai tempat untuk ngalap berkah. Menurut kabar dari mulut ke mulut, konon katanya banyak orang yang berhasil jadi kaya setelah mengunjungi Petilasan tersebut.
Demikian halnya dengan Marno, duda cerai mati tanpa anak, penduduk kampung Karang Weton, Bandar Jaya itu sengaja datang ke Petilasan itu untuk mencari keberuntungan agar jadi kaya. Marno selama ini memang mengalami nasib kurang beruntung. Sejak bujangan sanpai kawin dengan Ruminah, tak pernah menikmati yang namanya kesenangan materi. Saat masih bujangan dia bekerja serabutan dan sesekali jadi kenek angkot dan terakhir dia jadi kuli angkut di pasar Bandar Jaya. Dia bertemu dengan istrinya itu pun di pasar itu karena Ruminah waktu itu ikut ibunya dagang sayuran di pasar tersebut.
Sebenarnya kehidupan Marno mulai menunjukkan perubahan saat menikah dengan Ruminah, karena ibu Ruminah ikut membantu menunjang ekonomi mereka. Tetapi malang, Ruminah tidak berumur panjang. Dia meninggal akibat keguguran. Pendarahan yang luar biasa banyaknya membuat nyawanya tidak tertolong. Sepeninggal istrinya, Marno kembali hidup sendiri karena ibu Ruminah memutuskan untuk pulang ke Jawa, karena dijemput oleh anak lelakinya yang tinggal di Klaten.
Merasakan enaknya punya istri membuat Marno tidak betah hidup sendiri. Dia berniat untuk kawin lagi. Namun apa daya? Marno tidak punya nyali untuk mendekati lawan jenisnya. Duh Gusti, siapa sih yang mau jadi istriku? Sudah duda, miskin lagi, keluhnya.
"Lho, kenapa mesti pesimis, No? Dulu saja waktu melamar almarhum istrimu kau bawa apa?" Tanya Tugino, tetangganya saat Marno curhat padanya.
"Iya sih.. Tetapi apa mungkin aku bisa ketemu lagi dengan perempuan kayak almarhum istriku yang nggak matre?" Marno balik bertanya.
Tugino terdiam. Dalam hati dia memaklumi apa yang terjadi pada diri tetangganya itu. Memang tidak mudah mencari pasangan hidup yang mau diajak susah. Apa lagi jaman sekarang yang namanya materi memegang peranan penting. Tiba-tiba dia teringat pada cerita yang pernah didengarnya dari seorang temannya waktu ngobrol di warung kopi tempo hari. Temannya itu bercerita kalau ada tempat untuk mendapat untuk mendapat kekayaan dengan cara ngalap berkah di Bukit Gundul.
"Walaaah...Kalau yang begituan sih aku nggak percaya!" jawab Marno, saat Tugino menceritakan padanya tentang tempat pesugihan di Bukit Gundul itu.
"Mau percaya atau tidak, itu sih terserah kamu. Aku Cuma mau bilang kalau tempat itu memang keramat. Sudah banyak orang yang datang ke tempat itu dan berhasil jadi kaya," ucap Tugino.
Meskipun belum membuktikan sendiri ucapan tetangganya itu, tetapi mendengar kata berhasil, pendirian Marno jadi goyah. Setelah mencari informasi ke sana sini, akhirnya Marno nekad menyambangi tempat itu. Kedatangan Marno disambut oleh Abah Olot, penjaga petilasan itu. Bagi abah Olot setiap pengunjung yang datang adalah tamu yang harus dilayani dengan baik, karena tamu itu membawa rezeki baginya. Di hadapan abah Olot lelaki berjenggot itu, Marno mengutarakan maksud kedatangannya.
"Sebenarnya abah kurang setuju kalau orang mengatakan tempat ini sebagai tempat untuk mencari pesugihan. Abah lebih setuju kalau orang yang datang ke tempat ini untuk berziarah ke makam Ki Ontorejo dan Nyi Sekar," ucap abah Olot.
Marno tidak perduli pada ucapan lelaki berjenggot di hadapannya itu. Baginya yang terpenting datang ke tempat ini untuk mendapatkan kekayaan.
"Iya, Bah...Saya ngerti," jawab Marno sekenanya. Abah Olot tersenyum.
"Baiklah kalau begitu mari ikt abah ke makam," ajak abah Olot melangkah menuju ke makan yang terletak di belakang Petilasan itu.
Ritual yang dilakukan di tempat itu memang sangat sederhana sekali dan uniknya pelakukan tidak diharuskan memberi tumbal apapun. Cara ritualnya tak ubah seperti berziarah biasa. Demikianlah yang dilakukan Marno malam itu. Di bawah temaram sinar bulan dan suara jangkerik dia duduk bersimpuh di depan sepasang makam itu. Sambil mengangkat kedua tangannya dia mengikuti doa yang diucapkan oleh abah Olot. Setelah itu abah Olot menyuruhnya mengucapkan apa permintaannya di depan makam itu.
"Abah tidak berani menjamin kau berhasil atau tidak. Tetapi kalau nak Marno yakin, mau usaha dan ibadah, mudah-mudahan niatmu itu diijabah. Satu hal yang harus kau ingat, kalau sudah hasil jangan lupa sedekah sama orang susah dan jangan maksiat!" Kata abah Olot, setelah menerima amplop yang diberikan Marno.
Marno mengikuti nasehat abah Olot. Dia rajin bekerja dan sholat lima waktu. Tak lupa dia memberi uang jajan pada anak Tugino yang sekolah di SD Inpres. Entah kebetulan atau tidak, niat Marno mulai ada tanda-tanda berhasil. Dia diterima bekerja sebagai Satpam di sebuah pabrik penggilingan padi di Gunung Sugih. Babah Akeng menerimanya karena postur tubuh Marno yang tinggi dan tegap itu dianggap memenuhi syarat sebagai keamanan di pabriknya.
"Apa kataku? Untung kau mau menuruti saranku tempo hari. Nyatanya sekarang kau berhasil. Kalau besok kau sudah pakai seragam, pasti kau kelihatan tambah ganteng dan banyak cewek yang mendekatimu!" Kata Tugino saat Marno bercerit pada tetangganya itu kalau dia akan bekerja di pabrik penggilingan padi babah Akeng di Gunung Sugih.
Singkat cerita, Marnio sudah mulai bekerja sebagai Satpam. Dia diberi fasilitas yang lumayan. Sebuah rumah sederhana yang tidak jauh dari pabrik. Di samping itu dia diberi inventaris sebuah motor dan gaji yang lumayan besar. Tetapi kini dia jadi berubah. Dia melupakan nasehat abah Olot. Dia tidak lagi mau melakukan sholat lima waktu dan enggan bersedekah. Kini waktu senggangnya malah digunakan untuk berjudi dan minum-minum sampai mabuk. Dia juga lupa pada niatnya dulu untuk mencari istri. Untung saja tempat tinggalnya agak jauh dari pabrik dan teman-temannya tidak mau melaporkan tingkah lakunya yang buruk itu pada babah Akeng.
Tetapi sepandai-pandainya menyimpan keburukkan, namun akhirnya kelakuan Marno itu diketahui juga oleh babah Akeng. Karena Marno sering datang terlambat dan sering tidak masuk kerja tanpa alasan, babah Akeng memecatnya! Mulanya Marno menolak diberhentikan dan menyangkal semua perbuatannya, namun babah Akeng menemukan bakti-bukti berupa kartu domino yang berserakan di kamarnya dan banyaknya botol minuman. Fakta ini membuat Marno tidak berkutik dan dengan berat hati dia membenahi pakaiannya dan pulang ke kampungnya. Beruntung babah Akeng masih berbaik hati mernberinya pesangon.
Sekarang Marno kembali menganggur. Dia mau kembali jadi kuli panggul, tetapi merasa malu, akhirnya kerjanya seharian cuma nongkrong di teras rumahnya sambil menenggak minuman keras. Merasa kasihan Tugino mencoba menasehatinya, tetapi Marno tidak menggubrisnya, dia malah mengajak Tugino untuk minum tuak. Malam itu Tugino tidak melihat Marno duduk di teras rumahnya. Biasanya saat orang sholat Isya dia duduk di teras rumahnya sambil menikmati sebatang rokok kretek cap Menara dan segelas besar tuak yang dicampur suplemen minuman ringan. Karena merasa heran, dia mendatangi rumah Marno dan berulangkali memanggilnya, tetapi yang dipanggil tidak menyahut.
"Ada apa,No?" Pak RT yang saat itu baru pulang dari mushola bertanya pada Tugino.
"Oh,Pak RT...Saya memanggil Marno. Biasanya dia duduk di depan rumahnya. Tetapi dia tidak ada," jawab Tugino.
"Coba kau ketuk pintunya barangkali dia ada di dalam," perintah pak RT.
Tugino berulangkali mengetuk pintu tetapi tidak ada jawaban. Karena tidak terkunci, Tugino mendorongnya. Dan... Astaga! Seketika Tugino beristighfar, karena dilihatnya Marno tergeletak di lantai dengan kondisi sangat mengenaskan. Tubuhnya kaku dan membiru, sedangkan mulutnya mengeluarkan busa yang menebarkan aroma alkohol. Suara teriakan Tugino membuat para jamaah yang berada di mushola berlarian menuju rumah Marno. Mereka berusaha menolong Marno, tetapi Marno sudah meninggal dunia.
Keesokan harinya pak RT bersama warna segera menguburkan Marno, karena selama ini dia memang hidup sebatang kara. Kematian Marno yang tragis itu telah mengundang spekulasi warga. Mereka saling bergunjing menanyakan penyebab sebenarnya kematian lelaki malang itu. Apakah akibat dari perbuatannya melakukan pesugihan di Bukit Gundul tempo hari atau akibat dari pengaruh minuman oplosan? Allahu alam bisawab. (Demi menjaga privasi,nama pelaku peristiwa dan lokasi kejadian disamarkan)