Rabu Pon, 27 November 2024


Falsafah Guru Bisu


Di antara makhluk-makhluk yang Allah SWT SWT di alam jagad raya ini. Struktur postur ciptakan, manusia adalah makhluk yang tubuhnya juga memiliki sempuma dari ciptaan yang di ciptakan Allah kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk Allah SWT lainnya. Keterangan manusia yang terbaik dari makhluk lainnya salah satunya di temukan dalam Firman Allah SWT dalam Al-Qur'an,"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-balknya."(QS: At-Tin 95 : 4) 

Merujuk kepada ayat tersebut seyogyanya manusia harus banyak-banyak bersyukur dan berterimakasih kepada Sang Pencipta dengan menjalankan perintah dan menjauhkan segala yang dilarang-Nya. Bukan sebaliknya kedudukan mulia tersebut menjadi legalitas manusia untuk bersifat angkuh dan berbuat semaunya terhadap makhluk-makhluk lainnya, atau manusia satu-satunya yang pantas menjadi sokoguru untuk semua makhluk yang ada di alam jagad ini. 

Perlu diingat bahwa manusia yang diciptakan sebagai makhluk terbaik, tidaklah memenuhi totalitas sosok pribadi manusia secara utuh. Ini berarti manusia juga punya banyak kekurangan. Dikatakan yang terbaik bisa jadi karena ia punya bentuk postur yang sempurna dan punya kelebihan dapat berpikir dibandingkan dengan makhluk yang lainnya. Kelebihan tersebut akan menghantarkan manusia pada kesempurnaan yang hakiki, tentu bila dipergunakan dengan baik. Untuk mencari kekurangan-kekurangannya di alam, pada hakikatnya adalah guru bisu. Sebaliknya, manusia akan lebih rendah dari binatang jika keliru memanfaatkan fasilitas yang Allah SWT berikan kepadanya. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Al-Qur'an,"Kemudian Kami kembalikan dia (manusia) ke tempat yang serendah-rendahnya."(QS: At-Tin 95 : 5) 

Guru Bisu Diantara guru bisu manusia di alam jagad ini adalah ikan-ikan di lautan. Allah SWT menciptakan ikan di lautan memang untuk dikonsumsi. Makanan yang berprotein tinggi untuk tubuh jasmaniah. Selain itu juga sebenarnya Allah SWT menciptakan ikan di lautan menjadi pengajaran yang termasuk ke dalam "kauniah-Nya". Bagaimana dengan falsafah guru bisu yaitu ikan di laut untuk manusia. Hal itu berarti "Manusia dengan kelebihan potensi berpikir hendaknya jangan hanya memikirkan atau meneliti apa dan berapa protein ikan laut, tetapi juga membaca bagaimana sisi kehidupan ikan di laut agar menjadi pengajaran menjadi protein ruhaniah manusia. 


Baca juga :

Manusia terkadang ada yang berbuat melebihi binatang. Namun, dapat dipastikan tidak satu orang pun yang mau disetarakan dengan binatang. Itu dikarenakan manusia merasa lebih tinggi dan mulia kedudukannya. Dengan perasaan yang tingginya itu kadang menjadikan manusia lupa bahwa dirinya adalah makhluk yang berperasaan. Untuk itulah manusia perlu banyak belajar kepada soko guru bisu (kauniah) diantaranya adalah ikan di laut. 

Falsafah dalam pengertian yang tidak panjang adalah pedoman atau konsep hidup. Memfalsafahkan hidup dengan falsafah ikan di laut pada abad modern ini bukanlah hal yang tidak mungkin. Ikan di laut adalah sosok makhluk yang boleh dikata tegar dari kondisi kelautan. Airya asin, tetapi ke manapun ikan berenang tidak ikut asin, kecuali ia harus mati. Sehingga timbulah nasihat orang tuat kepada anaknya, "Jadilah kamu seperti ikan di lautan yang tidak pemah terperdaya keadaan." 

Sebesar-besamya ikan di lautan adalah kecil juga, luas lautan dengan air asinnya tidak dapat menjadikan ikan ikut menjadi asin. Demikian Allah SWT menciptakannya buat pengajaran kepada manusia. Manusia juga memiliki lautan dalam dirinya; luasnya tiada berbatas, dalamnya tiada berdasar, yaitu hati. Itulah hati dalam tubuh ini. Namun tidak sedikit manusia yang tenggelam ke dalam lautan hatinya sendiri sehingga kemuliaan dirinya ternoda dan terpuruk ke lembah kenistaan sebagaimana yang di sabdakan oleh Rasulullah SAW, "Sesungguhnya dalam diri manusia itu terdapat segumpal darah. Apabila baik ia, maka baiklah seluruh jasad ini, dan apabila rusak ia maka rusaklah seluruh tubuh, ketahuilah hal itu adalah hati". 

Manusia masih belum mampu memakai filosofi ikan di lautan yang tidak dapat diwarnai asinnya lingkungan air laut, kecuali ia sampai mati atau yang di sebut dengan ikan asin. Gebyar warna dunia dan derasnya akulturasi budaya sering kali mewarnai kehidupan manusia sehingga tidak jarang mereka rela mengorbankan yang paling prinsip sekalipun. Hal ini terjadi karena hati manusia yang tidak stabil yang membuat manusia terempas dan tenggelam dalam lautannya sendiri, Allah SWT menjelaskan dalam firman-Nya,"Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir." (QS:Al-Ma'aril 70 : 19 - 21). Manusia merupakan pusat terjadinya proses perubahan. Sebagai makhluk sosial, manusia tentu lekat dengan lingkungannya. 

Melalui hubungan sosial inilah tiupan angin budaya menerpa lautan hati manusia, sehingga membuat pribadi manusia bagaikan kapal tanpa nakhoda. Itulah sebabnya mengapa di era akulturasi seperti saat ini prinsip dan falsafah guru bisu yang berupa ikan di laut perlu dijadikan pelajaran bagi setiap manusia yang selalu hidup bersosialisasi dalam kehidupan di permukaan bumi ini. Dari manapun datangnya kebenaran ada baiknya bila setiap dari diri kita tidak melewatkannya. Untuk itu tidak ada ruginya jika kita melihat falsafah dari guru bisu (kauniah) yang memberi pembelajaran dan pemahaman tindakan jelek yang sudah di luar batas, bahkan jauh kelewat batas. Batasannya norma etika, nilai-nilai dan hukum yang berlaku dalam syariat agama dalam mencari taufiq, rahmat dan ridho Illahi dalam kehidupan. Dikarenakan bakal datang zaman gila di akhir zaman dalam kehidupan manusia sehari-hari. 

Zaman Gila 

Apa yang dimaksud dengan zaman gila seperti sabda Rasulullah saw, "Bila perempuan sudah menyerupai dan sebaliknya menyerupai perempuan atau apabila anak sudah tidak lagi kenal orang tuanya, jika anak jadi raja di rumah orang tuanya, bila pembantu melahirkan anak-anak majikannya".  Atau juga budaya "makan-memakan" dan budaya "makan siapa" telah merebak dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, inilah yang dimaksud zaman gila di akhir zaman. Dimana pada zaman ini membudaya sifat mengkhianati sesama manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia terhadap doanya sendiri dan banyak lagi pelanggaran norma-norma prinsip yang membuat gugurnya peradaban suatu nilai yang membuat kehancuran di atas permukaan bumi ini. 

Bila benar rujukan itu, budaya "makan-memakan" dan "makan siapa", sepertinya ada benarnya kebiasaan dan budaya ini jika kita pandangi fenomena abad sekarang. Boleh jadi itulah yang di maksud oleh filsafat guru bisu (kauniah) yang di contohkan oleh ikan laut. Tidak mengorbankan yang menjadi prinsip dalam kehidupan. Bila manusia terus tergilas dan bergelut dengan kecurangan, kebohongan, maka ketidakadilan nurani terasa berontak. Bila mundur akan jadi sebaliknya, terinjak-injak dan tergilas perputaran roda zaman. Banyak sebutan kalimat di tengah-tengah kehidupan di masyarakat yang berbunyi, "Ikut gila tidak tahan, tidak ikut gila tidak kebagian". Demikianlah yang terjadi di masyarakat modern sekarang ini. Mungkin di sinilah pertarungan antara 

kata benar dan salah, antara hak dan batil, antara tertindas dan menindas, dan antara memakan dan dimakan. Hal seperti ini telah digambarkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya,"Orang yang berpegang dengan kuat pada agamanya seperti ia menggenggam bara api dengan erat". Digenggam keras-keras telapak tangan terbakar hangus, panas tidak terhingga, dan jika dilempar atau dibuang, telanjang kita tanpa iman dan agama. Bahkan bisa jadi manusia itu sendiri yang akan dibakar oleh Allah SWT dalam api neraka. 

Mungkin seperti itulah gambaran keimanan masyarakat di tengah-tengah kehidupan sehari-hari pada zaman modern ini,baik di kota maupun di pedesaan. Bila diperhatikan pada saat ini, sebagai akibat akulturasi budaya modern yang menjadi pemain bukan hanya orang-orang elite, orang alit (kecil) pun berani lempar dan tendang iman. Bukan hanya petani yang berdasi yang sering melakukan lempar-lemparan dan tendang-tendangan, petani desa pun ikut bermain karena sang petani menganggap cocok tanam tidak lagi cocok pada budaya modern yang industrial, akhimya apa saja yang cocok dengan keinginan tanpa harus melihat halal dan haram, boleh dan tidak boleh. Asal cocok, jadilah. Demikianlah kenyataannya. 

Sesungguhnya diri kita sebagai manusia telah dianugerahkan kebebasan berkehendak. Kebebasan ini merupakan bentuk kenikmatan Allah SWT agar diri kita sebagai manusia dapat memilih jalan yang sesuai dalam hidupnya dan tidak mudah terbawa arus pergaulan, Pilihan inilah yang akan menentukan hasil usaha seseorang dalam hidupnya. Dikarenakan diri kita sebagai manusia harus berusaha menggapai kesempurnaan melalui amal perbuatannya, meskipun untuk menggapai puncak kesempurnaan dan mengenali esensi puncak kesempurnaan dan mengenali puncak kesempurnaan dan mengenali esensi pribadinya akan memperoleh yang terbaik dan sesuai dengan hasil usahanya. 

Seberuntung-untungnya orang yang lupa, masih beruntung orang yang beriman dan waspada. Kita hanya biasa berdoa dan berharap meskipun transformasi budaya tidak dapat dihindari dari berbagai dunia yang selalu sarat memengaruhi sisi-sisi kehidupan manusia. Mungkin bisa saja karenanya kita lupa dan terbuai oleh embusan "angin surga" atau yang semacamnya. Beruntunglah jika diri kita sebagai manusia masih memiliki iman dan waspada. Demikianlah falsafah guru bisu (kauniah) yaitu agar manusia jangan melepas apalagi melempar piranti hidupnya, yaitu keimanan, agar tejaga dan diselamatkan di dunia dan akhirat. 





KALENDER JAWA

Kalender Jawa adalah sebuah kalender yang istimewa karena merupakan perpaduan antara budaya Islam, budaya Hindu-Buddha Jawa dan bahkan juga sedikit budaya Barat. Dalam sistem kalender Jawa, siklus hari yang dipakai ada dua: siklus mingguan yang terdiri dari 7 hari seperti yang kita kenal sekarang, dan siklus pekan pancawara yang terdiri dari 5 hari pasaran. Pada tahun 1625 Masehi, Sultan Agung yang berusaha keras menyebarkan agama Islam di pulau Jawa dalam kerangka negara Mataram mengeluarkan dekrit untuk mengubah penanggalan Saka. Sejak saat itu kalender Jawa versi Mataram menggunakan sistem kalender kamariah atau lunar, namun tidak menggunakan angka dari tahun Hijriyah (saat itu tahun 1035 H). Angka tahun Saka tetap dipakai dan diteruskan. Hal ini dilakukan demi asas kesinambungan. Sehingga tahun saat itu yang adalah tahun 1547 Saka, diteruskan menjadi tahun 1547 Jawa.

METEOROMANCY

Metode ramalan yang menggunakan pengamatan benda-benda meteor sebagai mediumnya.




RAMALAN


Grup Telegram Dunia Gaib

belajar metafisika