Rabu Pon, 27 November 2024
Doa dan ratapan seorang ibu yang dinista oleh anak dan menantunya, ternyata berakibat luar biasa. Tiba-tiba, anaknya berubah menjadi burung elang, sedang sang menantu berubah menjadi burung punai yang terus terbang berputar-putar di atas muara sungai sambil menangis sehingga membentuk sungai kecil yang semakin lama semakin besar.
Hatta, pada suatu zaman, di sebuah gubuk yang terletak di muara sebuah sungai Indragiri Hilir, hidup seorang janda bersama anak laki-lakinya yang bemama Tuaka. Keduanya hidup dalam kubangan kemiskinan. Untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, Tuaka membantu emaknya Mengumpulkan kayu-kayu kering dari hutan-hutan di sekitar tempat tinggal mereka. Hari terus berganti, hingga suatu hari, sekembalinya mencari kayu-kayu bakar di hutan, Tuaka melihat betapa emaknya sangat kelelahan.
Oleh sebab itu, dengan serta merta ia pun berkata, "Mak, biarkan Tuaka saja yang membawa kayu bakar itu."
Sambil tersenyum, sang emak pun berkata sambil terus berjalan, "Tak apa. Emak masih kuat, lagi pula kayu bakar yang negkau bawa juga sudah banyak."
Tuaka tak kuasa untuk membantah. la tahu, sang emak begitu menyayanginya. Jika perlu, semua akan dikerjakan oleh sang emak. Keheningan kembali menyungkupi hutan. Tak ada suara, kecuali desir angin dan cericit burung di pepohonan. Mendadak, langkah sang emak dan dirinya sontak terhenti. Tuaka dan emaknya dikejutkan oleh suara desisan yang cukup keras.
"Mak ... suara apa itu?" Bisik Tuaka.
"Rasanya seperti suara ular," jawab sang emak sambil memperhatikan keadaan sekelilingnya dengan saksama.
Pandangan keduanya sontak terpaku ke tebing sungai yang tak jauh dari mereka berdiri. Di sana, tampak dua ekor ular besar sedang bertarung memperebutkan sebuah benda.
"Nak cepat bersembunyi. Ada ular besar sedang berkelahi," bisik sang emak sambil menuntun Tuaka.
Tanpa banyak tanya, Tuaka pun mengikuti. Keduanya langsung berlindung di balik sebatang pohon yang lumayan besar sambil terus memperhatikan dua ekor yang saling mematuk dan membelit.
"Mak ... apa yang mereka perebutkan?" Tanya Tuaka harap-harap cernas.
"Ssst diam, nanti ular-ular mengetahui keberadaan kita. Bisa bahaya," bisik sang emak.
Tak lama kemudian, sang emak dan Tuaka keluar dari balik pohon karena melihat perkelahian dua ular itu telah berhenti yang satu mati, sedang satunya luka parah, sementara, dari celah mulutnya tampak sebutir batu yang berkilauan karena tertimpa sinar matahari. Ular it terus mendesis karena kesakitan. Metihat keadaan itu, dengan serta merta Tuaka pun berkata dengan penuh harap,
"Mak ... kasian ular itu, mari kita tolong." Sejenak sang emak menatap tuaka dengan penuh tanya.
"Baik angkat dan kita bawa pulang untuk diobati," demikian kata sang emak mantap. Dengan sigap, Tuaka pun memasukan ular itu ke dalam keranjang yang dibawa emaknya, kemudian memanggulnya.
Sesampainya di rumah, sang emak langsung mencari tetumbuhan yang biasa dipakai untuk obat luka, sedang Tuaka memberi sang ular air untuk minum. Hari terus berganti. Perlahan-lahan luka-luka di tubuh ular itupun mulai sembuh. Hingga pada suatu hari, ular yang biasanya melingkar di keranjang itu hilang entah kemana, sementara, batu berkilaunya ditinggalkan dengan begitu saja. Tuaka dan emaknya saling tatap dengar tak mengerti sambil memperhatikan batu berkilau itu dengan penuh rasa kagum.
"Jangan-jangan, ini yang namanya batu permata," desis sang emak.
"Harganya mahal?" Tanya Tuaka
"Mungkin ini tanda terima kasih ular kepada kita. Kalau begitu, kita jual saja kepada salah seorang saudagar dan uangnya kita pakai untuk berdagang. Dengan begitu, kita tidak miskin lagi," gumam sang emak.
Tuaka langsung saja mengangguk tanda setuju. Esoknya, Tuaka pun pergi ke bandar tempat berkumpulnya para saudagar. Sesampainya di sana, ia pun langsung menawarkan batu yang dibawanya kepada saudagar yang dianggap mampu dan berani membeli permata miliknya dengan harga yang tinggi. Hampir semua saudagar yang ia tawarkan tak ada yang berani membelinya. Tuaka pun mulai putus asa. la berniat membawa pulang permata itu untuk dikembalikan kepada emaknya. Mendadak langkahnya terhenti di ujung Bandar. la melihat ada saudagar yang rasanya belum ia tawarkan. Tanpa ragu, Tuaka menghampiri saudagar itu dan menawarkan permatanya dengan harga yang tinggi.
Sekali ini gayung pun bersambut. Sang saudagar sangat tertarik dengan permata itu. "Eloknya batu permata ini. Walau harganya tinggi, tapi, aku tetap akan membelinya," demekian kata saudagar itu dengan semangat.
"Kalau begitu tuan tinggal membayarnya", desak suaka.
"Sayang... uang yang kubawa tidak cukup. Bagaimana jika ikut aku ke kotaku dan disana saya akan melunasinya," jawab saudagar penuh harap.
"Tak perki ragu, percayalah kepadaku," ujar saudagar meyakinkan Tuaka yang sedang berpikir keras. Mendengar ata-kata itu, Tuaka pun menjadi mantap hatinya dan berkata, "Baik Tuan aku ikut ke kota tuan." Setelah itu, Tuaka pun pulang dan menceritakan apa yang terjadi kepada sang emak.
Akhirnya, sang emak pun setuju dan merestui Tuaka berangkat ke kota. Sepanjang perjalanan, angan Tuaka pun melayang jauh entah kemana dalam khayalannya, ketika pulang nanti, ia akan membawa uang dalam jumlah yang banyak. Setibanya di kota, sang saudagar pun membayar permata itu sesuai dengan kesepakatan. Agaknya, gelimang uang yang diterimanya, membuat Tuaka jadi iupa diri bahkan metupakan emaknya yang masih tinggal di gubuk di muara sungai Inderagin itu.
Sementara, Tuaka sendiri lebih memilih untuk menetap di kota dan beberapa tahun kemudian, ia pun telah berubah menjadi seorang saudagar yang kaya dan sukses serta menikah dengan seorang gadis nan rupawan. Sebagai seorang saudagar yang sukses, sudah barang tentu, selain memiliki • rumah yang sangat megah, kapalnya pun banyak. Boleh dikata, Tuaka hidup dalam gelimang kemewahan. Sayangnya, ia seolah malupakan emaknya yang miskin dan hidup sendiri.
Hingga suatu hari, Tuaka mengajak istrinya berlayar dan singgah sejenak di kampung halamannya. Sejenak hatinya tercekat. Tapi, Tuaka telah bertekad untuk tidak menceritakan keadaan yang sebenarnya kepada sang istri bahwa di kampung sebelah sana, hidup seorang tua berbalut kerniskinan yang tak lainnya adalah ibu kandungnya sendiri. la tak ingin istrinya tahu, betapa dirinya adalah anak seorang wanita tua yang miskin.
Seperti biasa, kedatangan saudagar ke bandar tersebut selalu menjadi buah bibir orang. Begitu juga dengan kedatangan Tuaka. Mendengar itu, dengan bergegas, sang emak menyongsong kedatangan anak semata wayangnya yang berbilang tahun pergi tanpa kabar berita sama sekali. Dengan bersampan, sang emak pun mendekati kapal megah Tuaka.
"Tuaka, anakku ini emak!" Teriak sang emak ketika melihat Tuaka dan istrinya sedang berdiri di atas kapal megah.
"Kakanda...siapa wanita tua itu. Kenapa ia menyebut Kakanda sebagai anaknya?" Tanya sang istri dengan wajah tak senang sambil menunjuk ke arah sampan.
Tuaka langsung menoleh. la amat terkejut, sebab, wanita renta yang berpakaian tak layak itu adalah ibu kandungnya. Tapi apa daya, hatinya telah tertutup. 1a tak sudi mengakui ibunya sendiri. Dengan keras, ia memerintahkan anak buahnya agar sampan dan wanita tua itu menjauh dari kapalnya.
"Dasar orang gila beraninya ia mengaku sebagai emakku. Segera singkirkan!" Kenyataan itu membuat sang emak sangat bersedih. Dengan menangis, ia pun mengayuh sampan agar menjauh dari kapal itu sementara, hatinya menjeritkan kata;
"Tuhan ampunilah dosa anakku yang telah durhaka kepadaku. Berikanlah ia peringatan ya Tuhan!"
Seiring dengan usainya jeritan hati sang emak, mendadak, terdengar petir menggelegar, tiba-tiba, tubuh Tuaka berubah menjadi seekor burung elang, sementara, tubuh istrinya berubah menjadi seekor burung punai. Mengetahui kejadian itu, emak Tuaka pun sangat terkejut. la tak pernah menyangka hal itu akan terjadi. Walau Tuaka telah menyakiti hatinya, sebagai seorang ibu, ia tetap sangat mencintai anaknya. Burung elang dan burung punai tersebut terbang berputar-putar di atas muara sungai sambil menangis hingga air mata kedua burung itu menetes, membentuk sungai kecil yang semakin lama semakin besar. Dikemudian hari, sungai tersebut lebih dikenal dengan sebutan Sungai Tuaka atau Batang Tuaka.