Rabu Pon, 27 November 2024
Datu Beru adaIah seorang tokoh Kerajaan Lingga, pada zaman keemasan Aceh. Meski ia seorang wanita, tetapi kecerdasan dan pandangan jauh melebihi pria. Karena itulah Sultan Iskandar Muda mengangkatnya menjadi salah seorang penasehat agung. Dan karena terlalu tekun mengabdi kepada negara, wanita itu akhirnya menjadi perawan tua dan dijuluki Datu Beru. Makamnya sangat dikeramatkan dan dapat menimbulkan kutuk yang sangat mengerikan bagi wanita yang salah langkah.
Dalam suatu perjalanan pulang dari Banda Aceh, Datu Beru diserang sakit perut yang parah di sekitar kecamatan Timang Gajah (sekarang Aceh Tengah). Datu Beru yang merasa penyakitnya sudah terlalu parah akhirnya berwasiat kepada pengawal-pengawal pribadinya. "Di mana saya meninggal, di situlah saya dikuburkan," demikian kira-kira wasiatnya. la memang meninggal di tengah hutan belantara di sekitar desa Tunyang sekarang. Para pengawal bingung melaksanakan wasiatnya.
Sebagai seorang penasihat Sultan Iskandar Muda, Datu Beru tidak mungkin dikuburkan begitu saja di tengah hutan tanpa upacara kerajaan. Para pengawal akhirnya sepakat untuk tidak menunaikan wasiat. Mereka berusaha membawa jenazah Datu Beru ke pusat Kerajaan Lingga yang hanya tinggal beberapa puluh kilometer saja. Tetapi ternyata, para pengawal yang jumlahnya puluhan orang itu tidak mampu mengangkat usungan jenazah. Akhirnya, wasiat Datu Beru terpaksa dilaksanakan. la dikuburkan di pinggir desa Tunyang, kecamatan Timang Gajah, Aceh Tengah.
Sampai sekarang, meski kuburannya sederhana saja, tanpa ditembok dan dirawat baik, namun orang yang datang berziarah ke sana cukup banyak. Dan kabarnya, peziarah yang banyak ke sana adalah wanita-wanita teraniaya. Konon, doa wanita teraniaya yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa di makam Datu Beru selalu diterima. Tetapi bila si peziarah yang berdoa di sana dalam keadaan kotor, resikonya cukup berat, mati atau gila.
Contohnya seperti yang terjadi atas diri Afipah (nama samaran), beberapa waktu lalu. Ceritanya, bulan-bulan pertama, bahkan sampai bulan keenam Afipah masih riang gembira dengan kepindahan Ismet (juga bukan nama sebenarnya) ke kantor cabang Hongkong. Gadis berusia 21 tahun yang jangkung dan hitam manis itu tentunya sudah bercita-cita jauh, bahwa satu atau paling lambat satu setengah tahun lagi dia dan Ismet akan menikah dan membangun rumah tangga di Hongkong. Atau di tempat lain, namun yang pasti di luar negeri.
Sebab sudah merupakan kebiasaan perusahaan, karyawan yang pernah ditugaskan di luar negeri akan terus bertugas di luar negeri selama pengabdiannya kepada perusahaan belum diragukan. Tetapi bulan ketujuh, wajah oval yang berlesung pipit itu mendadak muram. Melihat hal demikian Alimudin, sahabat Ismet, tentu saja berusaha menyelidiki apa gerangan yang menyebabkan pacar sang teman bermuram durja. Pada mulanya Afipah selalu mengelak. Ia tetap ngotot mengatakan tidak terjadi apa-apa pada dirinya. Alimudin terpaksa percaya.
Afipah yang bekerja sebagai salah seorang pembantu staf direksi adalah wajar terlalu capek karena pada masa itu adalah biasa tutup buku. Namun saat tahun baru muncul, yang tentunya pekerjaan sudah semakin berkurang, Afipah tambah muram dan kebingungan kelihatannya. Kembali sebagai teman dekat Ismet, Alimudin menyelidiki kenapa pacar sang teman seperti mengalami tekanan perasaan.
"Kenapa, kau makin muram kelihatannya?" selidik Alimudin.
Afipah mendongak, menatap sahabat pacarnya dengan tatapan sayu. Dia lalu bangkit dan menyelinap masuk ke dalam kamar pondokannya yang mewah. Kira-kira dua menit kemudian ia muncul kembali membawa lima buah amplop surat yang sudah dibuka.
"Bagaimana tidak muram " keluhnya sambil mengulurkan surat-surat itu.
Alimudin meneliti amplop surat-surat kilat tersebut dengan teliti. Ternyata surat-surat ayahnya dari kampung, dari sebuah desa kecil di sekitar Danau Laut Tawa, Tanah Gayo, Aceh Tengah. Alimudin mengurungkan niat untuk membuka amplop dan membaca isinya, karena Afipah sudah mendahului memberitahu.
"Ayah memaksa Fipah agar segera pulang untuk dikawinkan...." katanya.
Beberapa saat Alimudin bungkam dan mengerutkan dahi. Dia kurang percaya bahwa ada orang tua yang telah memiliki kesadaran dan kemampuan menyekolahkan anak gadisnya jauh-jauh sampai ke seberang lautan masih menganut kebiasaan kawin paksa.
"Dipaksa kawin, kenapa?" tanya Alimudin tak mengerti.
"Alasannya sih karena sayang. Katanya mereka takut kalau aku sampai kenapa-kenapa di Jakarta ini. Padahal nyatanya selama ini tidak apa-apa. Aku juga sering menjelaskan bahwa aku sudah punya pacar, tetapi mereka tidak peduli, terutama ayah tiriku. Dan kabarnya calon mereka itu seorang pengusaha di Takengon. Setelah menikah rencananya kami akan pindah ke Jakarta," ujar Fipah nyaris menangis.
"Bagaimana kalau kirim surat kepada Ismet, desak dia agar segera mengambilmu," Alimudin mencoba memberi saran.
"Ah, serba susah! Bang Ismet itu orangnya aneh. Kalau dia tahu masalahnya begini, dia pasti lepas tangan. Bang Ismet paling tidak setuju perkawinan yang tidak direstui kedua orang tua," Afipah kelihatan bingung.
Mendengar penjelasan itu Alimudin hanya bisa menghela napas panjang. Memang sulit juga masalah yang dihadapinya.
"Bagaimana kalau bertahan? Maksudku, desakan orang tua tidak usah digubris dan Ismet tak usah diberi tahu," lagi Alimudin mencoba memberi jalan keluar. "Dan, Fipah tidak usah pulang ke Aceh" sambungnya.
Afipah menggelengkan kepala. Menurutnya kalau bulan depan tidak pulang, maka ayah dan ibunya akan datang menjemput ke Jakarta. Kini Alimudin buntu, tidak tahu lagi bagaimana mencarikan jalan ke luar masalah yang dihadapi Afipah. Dan saat itu, barulah gadis manis berambut ikal sebatas bahu tersebut menjelaskan maksud sebenarnya mengundang Alimudin ke Tebet, ke pondokannya, yaitu hendak minta tolong diantar ke Tanah Gayo.
"Andaikata Fipah kenapa-kenapa di sana, Abanglah yang jadi saksi. Abanglah yang menjelaskan kepada bang Ismet," ujarnya sendu.
"Memangnya Fipah mau bagaimana di sana?" tanya Alimudin. Dia cukup terkejut dengan apa yang telah dikatakan Afipah itu.
"Tidak akan apa-apa. Hanya menjelaskan masalah yang sebenarnya secara langsung kepada ayah dan ibu. Tetapi, siapa tahu mereka dapat menerima penjelasanku" jelas Afipah sambil mengangkat bahu.
Hati Alimudin bergetar. Dia merasa cemas kalau Afipah sampai kenapa-kenapa. Sebagai seorang sahabat, dia langsung merasa berkewajiban untuk mendampinginya. Lebih-lebih lagi ketika di dalam pesawat Fokker yang membawa mereka dari Polonia ke Blang Bintang Afipah buka kartu, kewajiban untuk mendampinginya itu semakin memberatkan hatinya. Dengan terus terang waktu itu Afipah menjelaskan, kalau jalan terakhir sudah buntu, ayah dan ibunya tidak mau mengerti, maka ia tidak akan ragu-ragu mengadu ke makam Datu Beru. Mendengar nama Datu Beru, bulu kuduk Alimudin kontan berdiri.
"Kenapa mesti ziarah ke Datu Beru?" tanyanya cemas.
"Apa boleh buat, itulah jalan terakhir," ujar Afipah sambil menunduk.
Sebagaimana rencana sernula, sesampainya di kota kecamatan Lampahan mereka langsung ke rumah pak Munir, lengkapnya Munir Aman Salim, sahabat akrab Alimudin. Sore harinya, Alimudin dan pak Munir mengantarkan Afipah ke rumah orang tuanya di sebuah desa sebelah tenggara kota kecil Lampahan. Pak Munir yang berusia 60- an itu memang pintar bersandiwara. Cut Zaitun, kemenakannya dari Banda Aceh yang kebetulan liburan sekolah, diajaknya. Dan untuk mencegah timbulnya dugaan yang bukan-bukan, pak Munir menjelaskan kepada pak Saiful, ayah tiri Afipah, bahwa yang menemani Afipah dari Jakarta adalah Alimudin dan kemenakannya Cut Zaitun. Setelah shalat maghrib, pak Munir dan Alimudin serta Cut Zaitun berpamitan hendak kembali pulang ke Lampahan.
"Tunggu saja di rumah pak Munir, besok pagi Fipah ke sana," bisik Afipah kepada Alimudin ketika mengantar sampai jembatan di ujung perkebunan kopi. Esoknya, menjelang pukul 11.30 Afipah datang ke rumah pak Munir naik sepeda motor, lengkap dengan jaket dan celana jeans.
"Temani Afipah Bang. Kita mesti lari!" katariya sambil meloncat dari sepeda motor.
"Tidak ada waktu untuk menjelaskannya, Bang. Nanti saja. Kita mesti segera pergi," sambungnya.
"Lari ke mana?" Alimudin kebingungan.
"Mesti ke arah Kutacane. Kalau ke arah Takengon pasti dikejar mereka," ujar Afipah sambil menarik tangan Alimudin.
"Tunggu dulu pak Munir pulang dari kebun," cegah ibu Habibah, istri pak Munir, memberi saran.
Tetapi Afipah tak bisa dicegah lagi. Nampaknya, kalau Alimudin masih menyarankan menunggu pak Munir, ia akan pergi sendiri.
"Bawa dulu Fipah ke makam Datu Beru, Bang," kata Afipah setelah kira-kira setengah jam meluncur di pinggir jalan mulus yang menyusuri perkebunan pinus.
"Kenapa mesti ke makam Datu Beru? Kita kan mau lari ke Kutacaner protes Alimudin.
"Kalau Abang tidak mau membawa Fipah ke sana, biar Fipah pergi sendiri," ujarnya sambil memukul-mukul kepalanya ke tengkuk Alimudin.
Sekali lagi Alimudin mengalah. Mereka lalu menyusuri jalan di pinggir sawah kira-kira selama 10 menit. Kemudian sampailah ke sebuah dusun kecil yang sudah termasuk wilayah desa Tunyang. Setelah menitipkan motor di sebuah warung, Afipah membuka tas dan mengeluarkan kerudung. la lalu naik ke lereng bukit, menuju makarn Datu Beru. Di samping kanan kuburan tua bekas penasehat Sultan Iskandar Muda itu Afipah menangis meratapkan duka nestapa yang menimpa dirinya.
Alimudin yang berdiri mematung tidak menyadari pipinya sudah dibasahi air mata. Di antara ratap tangisnya dia akhirnya mengetahui derita kehidupan Afipah selama ini. la masih dalam kandungan, ketika ayahnya meninggal diterkam harimau. Ibunya yang menjanda akhirnya berjualan sayur-mayur dari desa ke Takengon. Selesai SMP, Afipah dibawa ke Jakarta oleh keluarga mendiang ayahnya. Dengan bahasa Gayo yang bercampur bahasa Indonesia, Afipah makin meratap pilu menyayat kalbu. Katanya ia sudah pernah menjadi babu atau pembantu di rumah pamannya, agar bibinya memberinya ijin bersekolah kalau siang hari.
"Sekarang, Datu Beru!" Afipah tiba-tiba tegang dan menadahkan tangan, "Sekarang saya sudah bekerja, sudah punya calon suami, saya dipaksa kawin dengan pemuda yang tidak saya kenal untuk membayar hutang-hutang ibu dan ayah tiriku...." lanjutnya makin tegang.
Setelah itu, Afipah meraung-raung menjerit-jerit sambil berguling-guling seperti orang yang kemasukan setan. Menyaksikan itu, Alimudin yang tegak mematung tiba-tiba tersentak sadar. la terhuyung mengangkat Afipah. Tetapi bersamaan dengan itu seseorang sudah memegang pundaknya. Alimudin menoleh ke belakang. Ternyata, pak Saiful, ayah tiri Afipah dan tiga orang laki-laki bertubuh kekar berdiri berkacak pinggang.
"Kalau tidak memandang pak Munir, kau sudah kami potong dua di sini!" bentak laki-laki berkumis melintang itu.
"Lho, apa salah saya?" Alimudin berusaha membela diri.
"Kalau bukan karena kau, anakku tidak akan begini!" tukas pak Saiful, melotot.
"Tetapi...." Alimudin berusaha menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya, namun tidak diberi kesempatan.
"Sudah! Tutup mulutmu!" Potong laki-laki berseragam hitam-hitam.
Kemudian, Afipah yang sudah pingsan langsung mereka angkat. Di bawah, di depan kedai, sudah menunggu sebuah colt. Afipah mereka bawa pergi. Dengan perasaan yang bingung, kesal dan sedih bercampur aduk, Alimudin kembali naik sepeda motor ke Lampahan, ke rumah pak Munir. Belum sempat Alimudin melaporkan seluruh kejadian, pak Munir sudah beranjak masuk ke kamar mengambil rencong.
"Tidak bisa. Saya mesti menuntut balas. Mereka telah menghina kita!" la berteriak sambil mengacungkan rencong.
"Ayo, kita temui Saiful sekarang juga!" Pak Munir menyambar tangan Alimudin dan menariknya.
"Kalau akan bikin ribut di kampung orang saya tidak mau, Pak," Alimudin menolak tegas.
"Jadi?" Pak Munir melotot.
"Saya mau ke sana kalau tujuannya untuk menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya, serta untuk melihat bagaimana keadaan Afipah," Alimudin mengemukakan syarat.
Pada mulanya Pak Munir berkeras. Tetapi akhirnya sikapnya melembut setelah isrinya, Habibah, ikut memberikan keterangan, saran dan pandangan. Setelah shalat Isya Alimudin, Habibah dan pak Munir meninggalkan Lampahan menuju rumah pak Saiful. Kira-kira setengah jam berjalan kaki menyusuri jalan tanah yang membelah perkebunan kopi, akhirnya sampailah mereka di depan rumah besar yang agak terpencil, dikelilingi pepohonan jeruk.
Tiga biji lampu tekan dipasang di depan rumah. Suasana sempat tegang beberapa menit, sebab pak Saiful menerima kedatangan mereka dengan sikap bermusuhan. Untunglah setelah Habibah yang melihat dan mendengar Afipah yang datang ke rumahnya mengendarai sepeda motor ketika mengajak Alimudin melarikan diri ke Kutaane bercerita panjang lebar kepada pak Saiful, sikap laki-laki usia 50-an itu kontan berubah. Bahkan Alimudin kemudian dirangkulnya sambil meminta maaf.
"Bapak betul-betul terlalu emosi, Nak. Maafkan!" pintanya dengan suara serak.
Mereka lalu dipersilahkan masuk. Hati Alimudin betul-betul terasa remuk menyaksikan Afipah yang masih terbujur di tempat tidur dalam keadaan masih pingsan.
"Sudah tiga orang dukun, tetapi belum behasil," desis Ibu Rohana, ibu kandung Afipah, yang duduk di sisi kanan anaknya.
"Lebih baik kita bawa ke rumah sakit Takengon saja," usul pak Munir. Ibu Rohana dan pak Saiful saling berpandangan.
"Betul, kita bawa ke rumah sakit saja," Alimudin mendukung usul pak Munir. Ibu Rohana dan pak Saiful kembali berpandang-pandangan.
"Saya rasa juga, lebih baik ke rumah sakit," desis ibu Rohana.
Pak Saiful akhirnya manggut tanda setuju. Kemudian ia menugaskan seorang anak muda untuk naik sepeda motor pergi ke Lampah-an mengambil ambulans.
"Kalau ambulans yang di Lampahan sedang tidak ada di tempat, kau terus ke Takengon," katanya memerintah.
Sambil menunggu ambulans, mereka diajak pak Saiful ke beranda menikmati kopi panas untuk menghangatkan badan. Setengah jam, tiga perempat jam, bahkan sampai satu jam mereka menunggu, ambulans belum juga datang.
"Mungkin ambulans tidak ada di Lampahan," gumam pak Munir.
"Barangkali," sahut pak Saiful singkat.
Aneh, bersamaan dengan itu, ketiga lampu tekan yang di depan rumah mendadak padam. Bersamaan dengan itu pula terdengar suara bergemuruh dari arah semak belukar di balik pepohonan jeruk. Beberapa detik kemudian, kira-kira 10 meter di depan rumah telah berbaris beberapa ekor gajah. Dan yang di tengah, Alimudin melihatnya dengan jelas di keremangan malam, gajah yang tinggi besar itu adalah gajah berwarna putih. Di atasnya duduk seorang perempuan berpakaian tradisional Aceh.
"Ha, Datu Beru, Datu Beru!" Pak Saiful dan pak Munir menggumam serentak.
Mendengar gumaman mereka, tokoh legendaris yang telah meninggal ratusan tahun silam itu mengacungkan tangannya. Gajah putih yang ditungganginya pun mengangkat belalainya tinggi-tinggi. Beberapa detik setelah itu, gajah-gajah yang di depan rumah sekonyong-konyong sirna dari pandangan. Dan....dari kamar samping kanan terdengar jeritan panjang. Ibu Rohana berteriak-teriak histeris. Mereka yang seolah-olah kena sirep di beranda dengan munculnya kawanan gajah yang misterius itu, tersentak sadar dan menghambur ke ruangan dalam.
Afipah yang telah pingsan beberapa jam ternyata telah siuman dan langsung melompat lewat jendela, lari ke dalam hutan seperti kesetanan. Pak Munir menyambar lampu tekan yang masih menyala di ruangan tengah. Dengan lampu yang satu itu Afipah mereka kejar ke dalam hutan. Tetapi, sampai subuh mereka mencari, jangankan Afipah, jejaknya pun tidak mereka temukan. Anehnya, jejak gajah yang mereka anggap misterius itu terlihat jelas di depan rumah. Setelah tujuh hari kemudian, barulah terdengar kabar bahwa seorang pencari rotan di lereng gunung Abong-abong menemukan sesosok mayat wanita dalam keadaan yang sangat menyedihkan. lsi rongga dadanya sudah habis dimakan binatang buas.
Setelah diselidiki, ternyata mayat yang malang itu adalah Afipah. Kenapa gadis malang itu kesasar sampai puluhan kilometer ke arah selatan, tidak ada yang mampu menjelaskannya. Ketika Alimudin menanyakan kenapa Afipah yang malang, yang mengadukan nasibnya ke makam Datu Beru, akhirnya mendapat kutukan yang menyedihkan, pak Munir hanya memberikan jawaban yang mengambang.
"Mungkin, Afipah bukan gadis suci lagi," katanya sendu.
Jawaban pak Munir ternyata ditunjang oleh satu kebenaran. Surat Alimudin yang mengabarkan musibah itu dibalas Ismet dari Hongkong. la terus terang mengakui bahwa dia dan Afipah sudah pernah hidup seperti suami istri selama beberapa bulan, meskipun mereka belum menikah. (Kisah nyata ini sebagaimana dituturkan seorang lelaki berinisial MIL kepada penulis)