Rabu Pon, 27 November 2024
Di Kerajaan Mataram Islam yang beristana di Plered bertahtalah Kanjeng Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma dengan bijak berwibawa. Wibawanya tak dapat ditolak oleh matahari. Kebijaksanaannya tak dapat terlarutkan oleh dinginnya malam dan temaram rembulan. Kanjeng Sultan dicintai oleh rakyatnya, dihormati oleh negara sahabat, dan disegani oleh lawan-|awannya. Sang Raja sentosa mengkhidmati ajaran Islam, sekaligus tetap melestarikan tradisi Jawa asli sebagai identitas bangsa. Sang Sultan mengayomi seluruh rakyatnya, mulai dari bangsa manusia, hewan, tumbuhan, bahkan bangsa jin sekalipun. Namun sekali-sekali tiada memberi toleran kepada pihak-pihak yang bersalah, dan nyata-nyata telah melanggar aturan kebenaran Tuhan. Di kala siang, dia sibuk menyebarkan kasih dan ketegasan Tuhan, sedangkan di malam hari selalu tekun bertapa dan bershalat malam.
Dikisahkan pada setiap jumatnya, Kanjeng Sultan Agung selalu beraga sukma dengan cara memecah diri menjadi dua. Yang satu tetap menemani rakyatnya shalat Jumat di Masjid Agung Kraton Plered, sedangkan yang satunya selalu terbang ke Mekah untul mengikuti shalat Jumat di sana. Di sekitar Ka‘bah, sehabis shalat Jumat, Kanjeng Sultan selalu berdiskusi agama dengan Kanjeng Sunan Kalijaga. Memang Wali dari Kadilangu Demak ini adalah guru agama bagi Sultan Agung. Semakin lama, Raja Mataram itu merasa semakin nyaman dan syahdu menghayati suasana kesucian di tanah suci Mekah. Maka Kanjeng Sultan memutuskan, jika kelak berpulang menghadap Tuhan, ingin dimakamkan di dekat kabah, karena ingin beristirahat sekhusyuk saat bershalat di Mekah. Namun ketika Kanjeng Sultan mendatangi Imam Supingi (Imam Syafi’i), Imam Masjidil Haram Mekah saat itu, permintaan Raja Mataram itu ditolak dengan halus, bahwa hanya para Imam Besar sajalah yang boleh dimakamkan di kompleks Masjidil Haram.
Sepulangnya dari Mekah, Kanjeng Sultan Agung selalu diliputi kesedihan yang mendalam. Hari-harinya hanya dipenuhi wajah muram dan lesu, karena harapannya untuk dimakamkan di dekat Ka'bah tidak dapat terpenuhi. Kesedihan Raja Mataram itu ternyata sampai mengganggu ketenangan Kraton Segara Kidul. Lantas Kanjeng Ratu Kidul bergegas terbang dengan kereta kencana disertai pengawalnya ke Kraton Plered.
Usai menghaturkan salam sembah kepada pemimpin junjungannya, Kanjeng Ratu bertanya mengapa Kanjeng Sultan Agung sampai menyebarkan suasana sedih ke seluruh tanah Jawa, hingga menembus alam halus di Laut Selatan. Kanjeng Sultan Agung menjawab pertanyaan Kanjeng Ratu Kidul, bahwa kesedihannya itu disebabkan pelarangan Imam Supingi atas keinginannya untuk dimakamkan di dekat kabah. Kanjeng Ratu bertanya lagi, bantuan apakah yang dibutuhkan Raja Mataram untuk menyelesaikan masalah ini. Kanjeng Sultan hanya menggeleng, maka Sang Ratu pun pamit mundur.
Sesampainya di Kraton Segara Kidul, Kanjeng Ratu Kidul tidak bisa menerima keputusan Imam Supingi, yang telah mencederai perasaan Raja Jawa junjungannya itu. Maka diperintahkanlah punggawa-punggawanya yang paling sakti, untuk membalas Imam Supingi. Di Mekah, Imam Supingi sekeluarga, menadadak menderita penyakit kulit gatal-gatal. Sudah berpuluh hingga beratus tabib dari seluruh penjuru negeri, bahkan dari manca pun telah dimintai pertolongannya, tetapi tiada seorang pun yang berhasil. Pada suatu hari Selasa, Imam Supingi yang bersembunyi di sudut Masjidil Haram, melihat Kanjeng Sunan Kalijaga sedang bershalat. Selesai shalat, sang Imam lekas mendekati Wali Suci dari Tanah Jawa itu. Lantas ia pun menanyakan perihal sakit yang dideritanya itu. “Wahai Sunan Kalijaga, Guru Suci di Tanah Jawa, yang mengemban tugas Iangsung dari Tuhan untuk mewakili ajaran Nabi Muhammad di Jawadipa, tolonglah hamba. Hamba sudah malu untuk memimpin shalat jamaah dan malu untuk berkhotbah di muka umum, karena penyakit kulit yang hamba sekeluarga derita ini."
Setelah bermohon jawaban kepada Tuhan, Kanjeng Sunan Kalijaga menjawab, “Oh Imam Besar Masjidil Haram, sesungguhnya engkau telah dicelakai oleh panglima-panglima bangsa halus dari kerajaan Jin di Laut Selatan Jawa. Jika engkau ingin sembuh, maka meminta maaflah kepada Raja Mataram yang menguasai Jawadipa, karena hanya dengan demikian makhluk nalus yang sakit hati itu berhenti mengganggu." Setelah shalat Jumat, Imam Supingi segera menghampiri Kanjeng Sultan Agung untuk mencabut pernyataannya yang duIu. Seketika Imam Supingi tersembuhkan dari penyakit yang mengganggu dan memalukan itu. Di lain tempat, gundah beralih gembira, wajah Raja Mataram bersinar terang membuat cemburu sang mentari. Raja Mataram pun merencanakan bagaimana desain makamnya kelak.
Di tengah-tengah keriangan itu, Kanjeng Sunan Kalijaga datang mendekat dan menanyakan sebab kegembiraan Sang Sultan Jawa Perkasa. Kanjeng Sultan menceritakan tentang izin yang sudah didapatnya dari otoritas Masjidil Haram untuk bermakam di dekat Ka’bah beserta rencana bangunan yang telah digagas-gagasnya. Kanjeng Sunan Kalijaga menasihati agar Sang Raja kasihan kepada rakyat Jawa, yang sangat menyayangi rajanya tetapi tidak dapat menziarahi makamnya karena terpaut jarak dan biaya. Sedangkan, hanya para Pangeran dan Kiyai yang sakti saja, yang dapat meraga sukma untuk terbang secara gaib langsung ke negeri Mekkah.
Kanjeng Sunan Kalijaga mengisyaratkan, akan memindahkan sebagian dari suasana kesucian Tanah Suci Mekah ke pulau Jawa. Maka Kanjeng Sultan Agung pun tidak perlu bersedih, karena dapat mernbuat makam di tanah Jawa, yang sesyahdu dan sesuci ka‘bah. Kanjeng Sunan Kalijaga lalu mengambil segenggam tanah dan halaman sisi selatan Ka’bah, kemudian lekas-lekas melemparkannya ke udara. Gumpalan tanah itu pun melesat jauh ke arah timur. Hanya sekejap tanah tersebut sudah sampai ke tengah-tengah Tanah Jawa, lalu jatuh di dekat Laut Selatan.
“Di sanalah hendaknya Tuanku Sultan membangun makam yang tak kalah syahdu dan suci dibanding tempat asal segenggam tanah yang hamba lempar tadi. Tanah tersebut juga dekat dengan rakyat Jawa yang sangat mencintai Tuanku Raja Mataram." Dalam haru atas kasih gurunya, Sultan Agung kemudian membangun kompleks makam di tempat segenggam tanah Ka‘bah tersebut jatuh. Tanah tersebut pun disebut Pajimatan lmogiri. Kompleks makam lmogiri sampai kini masih berdiri tegak menjadi tempat peristirahatan terakhir Kanjeng Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma di dalam damai dan sucinya tanah Mekah. Berikut pula seluruh raja Mataram keturunannya yang telah wafat, hingga raja-raja Surakarta dan Ngayogyakarta.
Cerita-cerita Jawa, walau terkesan banyak mengandung hal yang khayal dan membingungkan, sebenarnya terdapat banyak info yang bermanfaat tentang sejarah, pola pikir, dan etika kehidupan yang dapat kita gunakan untuk membangun kemanusiaan asli bangsa kita di alam modern ini. Sesungguhnya, hal itu pulalah yang mendorong pujangga-pujangga kuno untuk menghasilkan cerita di dalam Primbon, untuk tetap menjaga identitas dalam arus kemajuan pada masing-masing zaman.